Panasnya mentari tak menyurutkan niat wanita berbaju abu-abu itu. Aku selalu melihat ia berdiri di samping tiang lampu merah. Tepatnya di perempatan jalan yang ada di samping masjid besar. Saat aku sedang istirahat usai sholat, aku selalu mengamati setiap geraknya.

Dengan topi yang kusam menempel di atas kepalanya. Sebuah bungkus jajan ciki-ciki ada di gengangan tangan kanannya. Ia buta. Ia tak bisa melihat setiap pengendara yang berhenti di dekatnya. Ia hanya berusaha untuk menyodorkan tangan kanannya, dengan membawa bungkus ciki-ciki tersebut. Ia berharap, orang-orang yang sedang berhenti saat menunggu lampu berubah berwarna hijau, memberikan sedikit uang receh untuknya.

Sesekali, ia berjalan mundur untuk beristirahat sejenak. Ia duduk pada trotoar di tepi jalan. Ia teguk air minum dalam botol yang ia bawa dari rumah. Wajahnya hitam kusam terkena sengatan matahari. Keringat mengalir dari dahi dan lehernya. Terkadang ia mengipas-ngipaskan topi yang ia pakai untuk memberikan udara yang sejuk di badannya yang kepanasan dan berkeringat.


Usai pulang dari kuliah, aku menyempatkan untuk sholat dzuhur di masjid besar. Perjalanan untuk sampai ke rumah masih cukup jauh. Aku sering mampir ke masjid besar untuk sholat. Kadang, aku hanya beristirahat saja. Untuk menghilangkan rasa lelah saat mengendarai sepeda motorku. Pantatku terasa panas jika berlama-lama duduk di atas sepeda motor.

Air wudhu yang membasahi wajahku, terasa segar. Udara yang tadinya panas. Kini berubah menjadi sejuk. Saat aku memasuki masjid, semilir angin menerpa wajahku yang basah akan air wudhu. Kesejukan yang begitu nikmat. Angin semilir menembus serat-serat baju, hingga aku merasakan dinginnya angin yang semilir. Sungguh kenikmatan yang sangat luar biasa yang Allah berikan.

Usai sholat, aku duduk di serambi depan masjid. Aku tersenyum melihat wanita bertopi itu. Ia sangat semangat. Berdiri di samping tiang lampu lalu lintas. Setiap orang yang berhenti di lampu merah mengulurkan tangannya memberikan uang. “Sungguh.., Engkau telah mendatangkan tangan-tangan malaikat untuk membantu wanita itu, Ya Allah” Kataku saat mengamati banyak orang yang mengulurkan tangannya untuk memeberikan uang.

Bahkan, ada seorang istri yang di bonceng suaminya, menepuk bahu suaminya saat ia menjalankan motornya. Kemudian ia mengambil uang dari saku celananya. Dan memberikan uang pada wanita bertopi itu. Padahal lampu sudah berubah warna menjadi hijau. Dan orang yang berada di belakangnya juga tidak merasa terganggu saat mereka berhenti sejenak. “Ya Allah, berikanlah Wanita itu kekuatan. Berikanlah ia kesehatan yang baik. Dan mudahkanlah segala urusannya.” Pintaku Pada sang Khalik.

Hari ini, aku beristirahat kembali di masjid besar. Dan seperti biasanya, kulihat wanita bertopi itu berdiri di samping tiang lampu lalu lintas. Entah kenapa, aku melihat senyuman merekah dari bibirnya. Kemudian aku pun ikut tersenyum. ‘Apakah wanita bertopi itu melihat, bahwasanya aku tersenyum melihatnya?’ Tanyaku dalam hati.

Ada hal yang tidak biasa di hari ini. Banyak anak laki-laki dengan membawa tas duduk di serambi masjid. ‘Mungkin mereka sedang belajar kelompok’ tebakku. Salah satu anak mengeluarkan sebuah kamera dari dalam tasnya. “Kamu potret dari samping pintu gerbang saja!” Pinta temannya. “Ok..” Jawab anak itu dengan melingkarkan jari telunjuk dengan ibu jari tangannya.

Kemudian anak itu berjalan mendekati pintu gerbang masjid. Ternyata, anak laki-laki itu memotret wanita bertopi itu. Sesekali ia bersembunyi dari balik pagar saat ada pengendara yang melihatnya. Ketika ada pengendara yang memberinya uang, anak itu memotretnya. Kejadian itu pun berlangsung berulang-ulang.

Kemudian, aku mendekati temannya yang duduk di serambi masjid. “Apa yang kalian lakukan?” Tanyaku. “Mm.., kita sedang memotret wanita itu, Kak.” Jawabnya. “Untuk apa?” Tanyaku. “Untuk ikut lomba, Kak” tegasnya. “Do’akan kita menang ya, Kak!” Pintanya dengan tersenyum. “Pasti, Dik!” Jawabku.

Aku mulai berpikir, apa yang bisa aku lakukan untuk membantu wanita itu. “Ra..!” Finda mengagetkanku. “Finda, ngagetin saja.” Kataku yang agak kesal. “Kenapa melamun, Neng?” Tanyanya sambil menjail daguku. “Memikirkan bagaimana caranya aku bisa membahagiakan seseorang.” Kataku pelan dengan pandangan sedikit ke atas layaknya orang berkhayal. “Cie.., cie.., siapa, tuh?” ledek Finda. “Wanita bertopi yang sering aku lihat di lampu merah” Terangku.

“Wanita peminta-minta itu?” Tanyanya terkejut. “Untuk apa, Ra?” Tanya Finda. “Untuk membantunya, Fin” Jawabku. “Terus?” Tanyanya meminta penjelasan. “Adalah..” Kataku dengan senyum, dan alis yang sedikit aku naik-naikkan. Finda hanya tersenyum sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.

“Oh, iya. Bagaimana cerpennya?” Tanya Finda. “Insya Allah akan segera aku kirim. Tinggal mengedit saja.” Jawabku. “Sukses, ya Neng..!” Finda menepuk pundakku. Aku pun tersenyum. “Thanks ya..” Kataku. “Iya..” Jawabnya dengan tersenyum.

Hari ini, aku menyempatkan mampir ke masjid besar. Aku hanya ingin melepas lelah mengendarai sepeda motor. Usai aku memarkir sepedaku, aku langsung menuju tempat wudhu wanita. Aku basuh wajahku yang berminyak dan terasa panas, dan ada sesuatu yang memenuhi wajahku. Debu. Terik matahari membuat wajahku sangat rusuh. Air keran membuat wajahku terlihat cerah kembali. Segar sekali.

Aku lantas menuju serambi wanita. Aku duduk dan aku sandarkan punggungku pada dinding. Wajahku menelisik dan mendongak mencarai sosok wanita bertopi. Kemanakah ia?’ tanyaku dalam hati. Kenapa hari ini tak kulihat sosok wanita yang semangat dan kuat itu.


Aku berjalan mendekati wanita itu. Kuamati setiap gerak tubuhnya. Aku sebagai wanita yang diciptakan lebih sempurna darinya, sering menggerutu kepanasan. Hari ini aku merasakan, bagaimana sang surya melawan kekuatan kulitku. Aku duduk di trotoar. Dan masih mengamati wanita bertopi itu.

Tangannya kering, bibirnya pucat, kakinya busam, wajahnya basah penuh dengan keringat. Sesekali ia mengusapnya dengan tangan. Setiap angin bertiup menerpa topinya, ia segera mencengkeram kuat-kuat. Matanya terus tertutup dengan tangan kanan membawa bungkus jajan yang disodorkan kepada pengendara yang berhenti di lampu merah.

Semua orang mungkin menatapku heran. Duduk di trotor bersandingan dengan wanita bertopi. Dua sosok yang terlihat mencolok perbedaannya. Semua mata tertuju padaku. Aku sendiri tidak tahu, apakah yang ada dipikiran orang-orang saat melihatku.

Sesekali, ia berjalan dengan menggeser kakinya perlahan. Meskipun matanya tidak bisa melihat. Tapi, ia bisa merasakan dengan hati dan intuisinya yang tajam. Ada keinginan kecil dalam hatiku untuk bisa membuatnya tersenyum. Aku mencoba berpikir sambil mengamati wanita bertopi itu.

Hari ini, tak kulihat wanita bertopi itu berdiri di dekat lampu merah. Aku menunggunya sambil beristirahat di serambi masjid. ‘Kemana wanita itu?’ Tanyaku dalam hati. Aku seperti melihat keanehan dan keganjalan lampu merah itu, tanpa wanita bertopi yang sering aku lihat. Terasa hambar dan terlihat kosong.
‘Dimanakah wanita itu? Akankah ia datang di lain esok?’ Hatiku masih bertanya akan keberadaan wanita itu. Sosok yang begitu kuat. Dan senantiasa tersenyum dalam kecamuk penderitaan. Tapi baginya, jalan hidup harus ia jalani bagaimana pun medannya. Meskipun ia buta, tidak lantas menyurutkan niat dan semangatnya untuk tetap hidup di antara manusia yang lain yang lebih sempurna darinya.

Sudah beberapa minggu ini aku tak melihat wanita bertopi itu. Sungguh, perempatan itu terasa asing dan kurang sempurna tanpa kehadirannya. Hari ini aku membawa sebuah majalah. Cerpenku dimuat di majalah itu. Cerpen yang aku tulis tentang wanita itu. Ilustrasi yang dibuat oleh redaksi begitu tepat sasaran. Tepat seperti apa yang aku inginkan. Seperti potret wanita bertopi itu yang berdiri di dekat tiang lampu merah.

Tapi, dimana wanita itu? Aku ingin sekali memberikan honor cerpenku untuknya. Aku ingin ia duduk di sini menemaniku. Ingin sekali aku berbicara dengannya. Mencari semangat dalam hidupnya agar tumbuh dalam hatiku. Sosok yang mengingatkanku pada ibu yang sudah tiada. Aku ingin berbicara dengan wanita itu. Aku ingin kenangan bersama ibu itu muncul kembali.

“Ibu pergi meninggalkanku karena kecelakaan. Karena beliau buta. Ia tidak bisa melihat. Karena aku waktu itu pergi meninggalkannya sendiri. Aku telah lalai menjagaya.” Kataku sambil meraba ilustrasi yang ada di majalah itu. “Aku tak ingin wanita bertopi itu seperti ibu. Ia sangat kuat. Ia mempunyai hati yang bisa melihat. Aku ingin ia menemaniku berbicara, barang semenit saja.

Alangkah terkejutnya aku melihat berita yang di muat di koran lokal. Sebuah kecelakaan yang terjadi di perempatan jalan. Aku tahu persis tempat yang ada di koran tersebut. Usai membaca koran dari perpus, aku lantas datang menuju tempat kejadian.

Aku terasa lemas. Dadaku naik turun tak karuan. Aku duduk sejenak untuk mengatur nafasku yang tidak beraturan. ‘Aku benar-benar tidak percaya dengan apa yang diberitakan di koran itu. Wanita itu…, wanita yang menjadi berita di koran. Dia adalah wanita bertopi yang sering berdiri di dekat lampu merah’.

Aku terdiam duduk di trotoar. Aku benar-benar tidak percaya. Mataku kosong. Melihat jauh ke belakang akan sosok wanita bertopi yang sering ku lihat di perempatan lampu merah. Tiba-tiba, pandanganku jatuh pada sebuah topi yang pucat, tergeletak di tepi jalan. Aku pun mengambilnya.

Seketika air mataku menetes dari kedua mataku. Bayang-bayang wanita itu terus mengusikku. Perempatan itu begitu lekat dengannya. Ia selalu hadir di sana. Setia menanti pengendara sepeda motor dan mobil, demi secercah harapan. Bisa makan. Hidupnya ada di tangan para pengendara itu. Dari belas kasihannyalah ia bisa mendapatkan uang dan bisa makan untuk tetap mempertahankan hidupnya. Tapi, di tangan mereka pula lah, nyawanya melayang.

Aku meletakkan kembali topi itu di atas tanah. ‘Wanita itu telah tiada, tak ada lagi sosok wanita bertopi’ kataku dalam hati. Dari arah sampingku terdengar lantunan syair dari anak kecil (laki-laki). Ia berjalan melenggang di depanku, menghampiri para pengendara sepeda motor yang sedang menanti pergantian lampu lalu lintas. ‘Inikah sosok pengganti wanita itu?’ tanyaku dalam hati.

Setelah lampu merah itu berganti warna menjadi hijau, anak kecil itu lantas menepi di pinggir jalan. Kemudian ia duduk di sampingku. “Ini topi ibuku” kata anak itu. Pandanganku yang semula tertuju ke depan, langsung menoleh ke arah anak itu. “Ibu?! Wanita buta yang sering berdiri di perempatan ini?” tanyaku. Anak itu hanya menganggukkan kepalanya. Kemudian ia menutup kedua matanya dengan telapak tangannya. Ia menangis.

Aku pun menenangkan anak itu agar tidak menangis. “Kamu tidak boleh menangis. Apa kamu pernah melihat ibu menangis untukmu?” tanyaku. Ia pun membalasnya dengan menggelengkan kepalanya. “Lantas, kenapa kamu menangis untuk ibumu yang sedang bahagia di tempat peristirahatnnya?” tanyaku yang menahan tangis, sakit dan mengganjal di tenggorokan. Miris melihat anak itu.

Wajahnya polos, rambutnya tipis, memerah terkena sengatan matahari. Kulitnya hitam dan kering, mengharuskan ia menapaki panasnya aspal jalan tanpa sebuah sandal. Aku pun memakaikan topi itu (topi ibunya) di atas kepalanya. Aku pun tak kuasa menahan tangisku yang tiba-tiba pecah. Aku memeluknya erat dalam dekapanku.

“Jangan pernah menangis untuk ibumu. Tersenyumlah, dan Gapailah cita-citamu. Buatlah ibumu tersenyum melihatmu bahagia.” Kataku, menyemangatinya. Aku tak ingin ia seperti ibunya. “Kamu sudah makan?” tanyaku. Ia membalasnya dengan menggelengkan kepalanya, dengan topi yang kebesaran, sedikit longgar dipakainya. “Makanlah..!, ini untuk kamu” aku pun tersenyum padanya, dan meninggalkan ia.

‘Semoga hidupnya tak seperti apa yang dialami oleh ibunya. Ia harus bahagia. Ia harus bisa membuat ibunya tersenyum. Meski pun ia telah tiada. Kini, wanita bertopi itu telah tiada, yang ada hanya anak laki-laki kecil yang senantiasa berdiri di perempatan jalan. Menggantikan sosok ibunya’.

Selesai

Cerpen Karangan: Choirul Imroatin

Facebook: Choirul Imroatin

Ini merupakan cerita pendek karangan Choirul Imroatin, kamu dapat mengunjungi halaman khusus penulisnya di: Choirul Imroatin untuk membaca cerpen cerpen terbaru buatan penulis yang telah di terbitkan di cerpenmu, jangan lupa juga untuk menandai Penulis cerpen Favoritmu di Cerpenmu.com!

Cerpen ini lolos moderasi pada: 14 September, 2013

0 komentar:

Posting Komentar