“Pak, Bu, Mbak! Tolongin ibuku, Mas! Kumohon! Aku nggak bohong.”

Orang-orang masih saja lalu lalang melewati trotoar depan minimarket itu. Seorang gadis kecil semakin keras menangis sambil memeluk ibunya. Wajah ibunya tampak pucat. Keringat dingin mengucur deras dari wajah si gadis kecil. Sedari tadi ia berteriak meminta tolong kepada manusia yang berjalan melewati mereka berdua.

Namun tak ada yang mendengar, tak ada yang mau peduli.

Malam semakin menyergap, menyeringai di sudut-sudut hari. Semakin lama semakin gelap, namun gadis kecil masih saja merengek meminta bantuan.

“Tolong! Siapa aja yang punya hati. Ibuku sakit. Tolong, Pak, Bu!”

Suaranya sedikit demi sedikit hilang di telan malam. Sayup-sayup terdengar gigi ibunya yang bergetar di buai dingin dalam dekapan malam. Gadis kecil itu pingsan, sudah sedari tadi pagi ia belum makan. Dan belum ada satupun manusia yang datang, hanya untuk sekedar bertanya “Ada apa?”

Ibunya sudah tak membuka matanya lagi, badannya dingin, wajahnya pucat, darahnya berhenti, jantungnya sudah tak berdetak…

‘DIA SUDAH MENINGGAL’

Sang ibu pergi dalam keheningan malam. Sementara gadis kecil tertidur menggigil memegang perutnya yang berbunyi, memaksa minta diisi makanan. Hanya lampu kota yang masih terang benderang. Semua tempat sudah gelap. Tak ada lagi manusia yang lewat, walau satupun.

Matahari bangun, dan sang bulan pergi. Semakin meninggi, semakin panas. Manusia telah datang dari peraduannya menuju tempat bekerja. Mancari nafkah, meraup uang.

“Hei gembel, bangun! Bangun, jangan tinggal disini! Nanti minimarketku ngga’ didatengin orang gara-gara kamu!”

Seorang pria berperut buncit menedang gadis kecil dan ‘mayat’ ibunya yang masih tergeletak di depan minimarket. Tangannya bergelang rantai, menenteng kalkulator yang siap menghitung jumlah riba hari ini. Matanya sipit, rupanya ia adalah seorang Tionghoa ketika gadis kecil melihatnya melepas kacamata hitamnya.

“Maaf, Pak. Aku ngga’ bisa tidur di tempat lain, kami udah ngga’ punya rumah lagi.”

“Halah, wong miskin. Kalo ngga’ punya rumah, ngapain hidup?! Nyusahin saja kamu sama ibumu ini! Nah tuh, bangunin ibumu! Keenakan tidur di teras minimarket, begini jadinya.”

Gadis kecil memegang tangan ibunya. Dingin. Gadis kecil panik, ia raba wajah ibunya yang makin pucat. Seluruh tubuhnya terasa telah ditinggalkan rohnya. Cairan bening keluar dari mata dan hidung gadis kecil.

“Pak, tolong, Pak! Ibuku ngga’ bisa bangun. Tolong ibuku, Pak!”

“Halah, banyak alesan. Sini! Biar aku aja yang bangunin ibumu iki!”

Sembari mengumpat kata-kata kotor ia melangkah, meraba tangan ibu gadis kecil yang sudah memucat dan mendingin. Tiba-tiba pandangan mata lelaki itu terbelalak, segera ia menjauh dari ‘jasad’ ibu si gadis kecil dan berteriak sekeras-kerasnya.

“Woi, ada orang mati. Sini! Bantu aku! Woi, woi!”

Dalam sekejap, banyak orang yang datang menghampiri lelaki itu, dan bersama menggotong ibu gadis kecil ke sebuah mobil pick-up, mengantarkannya menuju rumah sakit. Gadis kecil merana. Pandangannya nanar, air matanya menetes deras, membasahi bajunya yang lusuh ditelan waktu.

“Ngga’! Ngga’ mungkin. Ibu ngga’ mungkin meninggal. Ibu sakit. Ibu cuma sakit!”

Gadis kecil manangis semakin keras, sesenggukan, sendirian tanpa ada seorang yang menemaninya. Orang-orang yang berlalu lalang masih tak mau mendatanginya walau untuk sekedar bertanya “Ada apa?”

Ini semua salah kalian semua! Aku udah minta tolong, aku udah teriak kencang-kencang. Ibuku sakit! Tapi kenapa kalian semua ngga’ mau nolongin?! Hei orang-orang yang jalan di trotoar! Kenapa kalian nggak dengerin aku? Kenapa kalian ngga’ nolong ibuku?!”

Gadis kecil berlari kencang, tak tahu kemana. Ia terus pergi menjauh dari keramaian. Kebenciannya berubah menjadi dendam kesumat.

Gadis kecil yang malang, ia terus mengejar ketidakpastian. Sendiri tanpa ibunya yang menemani, tanpa seorangpun yang memberinya harapan.

Namun ia menghentikan langkahnya yang mungil di sebuah jembatan panjang dekat sungai Bengawan Solo. Ia tatap air sungai yang mengalir deras membawa pasir-pasir kecil dan kerikil yang berserak tanpa bentuk. Ia teringat kenangan indah bersama ibunya. Belum percaya ia, bahwa ibunya telah meninggalkannya ‘untuk selamanya’. Ia lihat wajahnya di air yang deras mengalir, ia bayangkan jika dirinya mengikuti aliran air itu. Mungkinkah ia bisa bertemu ibunya lagi? Ia terus bergumam dalam hati.

“Mungkin, Bu! Aku mau ketemu ibu lagi, aku mau nyusul ibu bersama air sungai ini, aku ngga’ mau hidup sendiri, Bu!”

Ia menangis lagi, kali in ia ingat manusia-manusia tak mempunyai hati yang membiarkan ia dan ibunya berteriak meminta tolong, dan tak ada satupun yang menolong mereka.

“Bu, sebelum aku menyusul ibu, akan kubuat mereka yang menelantarkan kita sengsara. Akan kubuat mereka terlempar ke neraka! Aku ngga’ mau mereka hidup tenang, Bu! Aku mau mereka merasakan apa yang ibu rasakan!”

Sore. Belum juga manusia-manusia itu pulang ke peraduannya. Masih banyak yang berlalu lalang. Adzan maghrib berkumandang, namun tak juga digubris. Sama seperti teriakan gadis kecil yang meminta tolong. Tak ada satupun manusia yang terketuk hatinya.

Gadis kecil baru saja mendapat uang dari seorang ibu berjilbab yang melihatnya tidur di dekat jembatan. Gadis kecil di beri makan dan minum yang mengobati laparnya sejak kemarin. Ia beranjak, berjalan menuju warung untuk membeli sesuatu. Malam ini gadis kecil ingin semua manusia yang menelantarkannya dan ibunya merasakan kepahitan yang sama. Ia membeli minyak tanah dah korek api dari warung yang ia lalui, lalu berjalan kembali ke depan minimarket yang mengusir dia dan ibunya.

Apa yang akan dia lakukan?

Pandangannya kosong, namun hatinya terbakar, marah meluap di dadanya. Menukik tajam sampai terbias dalam langkah-langkahnya yang gontai.

Masih memegang minyak tanah dan korek api yang sedari tadi ia bawa. Ia mencari celah untuk berbuat laku amarah. Dari kejauhan terlihat pemilik minimarket menghisap rokok sembari menghitung uang riba hasil jualannya siang tadi. Dilihatnya lagi manusia-manusia buta hati yang tak peduli dengan nyawa manusia-manusia kecil, di pegang erat korek api dan minyak tanah itu.

“Nyawa itu harus diganti! Aku gak bisa diam!”

Namun sayup-sayup angin hilir mudik, sedang mentari tertunduk pada malam hanyut. Mega merah sangar berani memancar, mistis. Gadis kecil merasakan dekapan angin lembut. Tak terasa ia melangkah ringan ke sebuah sebuah tempat. Sesekali ia buka matanya. Langit magrib itu bersinar, turun secercah cahaya lembut yang gagah. Sayap-sayapnya lebar, putih bersih, lalu hinggap di menara sebuah masjid. Nampak seseorang bapak tua berjubah serba putih, samar-samar memanggil.

“Tinggalkan amarahmu, gadis kecil… Disini adalah jawaban.” Bapak tua itu memanggil gadis kecil menuju menara masjid. Wajahnya samar, namun suaranya bijak bestari.

Langkah gadis kecil itu terhenti di sebuah pelataran masjid yang damai. Ia mengambil wudhu, tanpa sadar. Lalu ia ambil mukena di sudutnya sembari mengucap nama Tuhannya. Minyak dan korek api yang di pegangnya ia buang ke tempat sampah. Ia shalat 3 rakaat magrib bersama “Bapak Tua” yang samar dalam penglihatannya, sejuk, damai, tenang.

Dan gadis kecil itu tak sadarkan diri, merajut semesta mimpi.

Pertama kali ia membuka mata, sebuah sungai terlihat di depannya. Ia terkejut. Di sekelilingnya istana-istana mutiara yang megah berjejer, menara-menaranya menjulang langit, harum semerbak menyebar dari dahan pohon yang hijau, sejuk.

“Engkau temukan jawabannya, gadis kecil?” Seorang Bapak Tua menepuk pundaknya. Gadis kecil itu terkejut.

“Jawaban apa? Aku gak ngerti?” jawabnya lembut.

“Bukan kamu yang membalasnya… Tuhanmu Yang Maha Penyayang mendengar rintihanmu adik kecil… Dan sekarang Dia-lah yang akan memperingatkan manusia-manusia itu… Dan kamu, tenanglah disini!”

Bapak tua itu berjalan menuju sebuah istana. Ia mengajak gadis kecil menengok kesana, melihat sekeliling tempat yang asing itu. Sesekali gadis kecil melihat ke segala arah sebuah pohon besar yang manaungi ratusan istana emas, dahan-dahannya menutupi langit.

Tiba-tiba gadis kecil bertanya, “Apa yang akan Tuhan lakukan sekarang? Akankah Dia membinasakan manusia-manusia itu, padahal setahuku Dia Maha Lembut dan Penyayang.”

“Ikuti aku, dan lihatlah kesana!” Bapak Tua menunjukkan tanggannya ke arah sebuah layar luas, lalu suara rintihan terdengar, kemudian tawa girang samar tereka. Di perlihatkan pada gadis kecil semua peristiwa.

“Itu teman-temanmu, mereka semua sama sepertimu lapar, tak punya rumah, mereka menangis merintih meminta bantuan. Tak ada satu pun yang mengganjal perut mereka, ibu-ibu mengemis di trotoar mengharap selembar seribu-an datang dari orang bermobil mewah atau pejalan kaki berdasi yang angkuh.”

Kemudian peristiwa demi peristiwa terganti diperlihatkan tawa serakah penguasa mungkar yang menindas gadis kecil dan teman-temannya.

“Kau lihat adik kecil, lelaki gemuk yang mengusirmu dan ibumu. Lihatlah manusia-manusia yang tidak lagi peduli dan tak memanusiakan manusia-manusia, pemimpin-pemimpin negerimu yang tak peduli denganmu dan teman-temanmu.

Aku tahu, Tuhan kita maha penyayang, namun Dia tidak suka dengan orang-orang zalim itu. Maka Dia, Allah… Allah memberikan peringatan kepada mereka, agar mereka sadar! Agar mereka mengerti! Bukan korek dan minyak tanahmu yang akan menghukum mereka… tapi…”

“Tapi apa?” tanya gadis kecil kebingungan. Sebelum bapak tua itu menjawab, tiba-tiba langit redup. Seakan mau runtuh. Dari salah satu sudut langit muncul pasukan malaikat berjubah hitam garang dan wajahnya penuh amarah. Mereka turun menembus langit dan meruntuhkan istana-istana mutiara, menumbangkan, meluluhlantahkan segalanya. Mereka terbang melesat cepat menuju suatu tempat, suatu tempat…

TEMPAT YANG TELAH DI TENTUKAN!!

Gadis kecil berlari, pandangannya kabur, tubuhnya lemas, Ia bingung mau lari kemana. Sayup-sayup sang bapak tua berkata

“Tanah akan tergoncang, lautan akan meluap, gunung-gunung akan lepas dari daratan!”

Lalu sang bapak tua pergi menjauh, semakin jauh, tak lagi terlihat. Gadis kecil hilang arah, hilang kesadaran dan semua menjadi gelap.

Daratan rata meronta-ronta. Gadis kecil bangun dari mimpi panjangannya meraba cahaya dari keruntuhan masjid. Ia bingung dengan apa yang terjadi, namun keingintahuannya memaksa kakinya melangkah menuju keluar. Dari kejauhan orang-orang berseragam Palang Merah berteriak, ”Kesana! Ada orang yang masih hidup!” Beberapa petugas tim SAR berlari menuju gadis kecil .

“Apa yang terjadi, Pak?! Ada apa?!” , gadis kecil ketakutan. Mereka tak menghiraukan pertanyaannya. Langsung menggendong gadis kecil ke sebuah helikopter untuk dibawa ke pusat pertolongan.

“Tadi malam sebuah bencana besar melanda kota ini, hanya di sini.” Salah seorang co-pilot nampak berbincang.

“Mungkin Tuhan telah memperingatkan seseorang.” Salah seorang menyahut, sambil melihat gadis kecil.

Si gadis kecil terbingung bingung karena orang yang ia lihat sama seperti sang bapak tua yang ada di mimpinya.

“Bagaimana gadis kecil, kau dan korek apimu, atau Tuhanmu dengan ribuan malaikatnya?”

Ia tersenyum datar.

Cerpen Karangan: Muhammad Edgar Hamas

Facebook: Muhammad EdgarHamas

Ini merupakan cerita pendek karangan Muhammad Edgar Hamas, kamu dapat mengunjungi halaman khusus penulisnya di: Muhammad Edgar Hamas untuk membaca cerpen cerpen terbaru buatan penulis yang telah di terbitkan di cerpenmu, jangan lupa juga untuk menandai Penulis cerpen Favoritmu di Cerpenmu.com!

Cerpen ini lolos moderasi pada: 6 April, 2013

0 komentar:

Posting Komentar