Malam. Ada sebuah kisah yang begitu menyakitkan. Ada segelintir cerita yang begitu perih menyedihkan. Ada segores harapan kecil dalam kenistanaan. Ada doa suci dalam dosa-dosa malam.

Malam. Terpaksa aku mengenal dunia kelam. Larut dalam impian, menyulam permohonan pada sang Tuhan. Sebuah permohonan yang akan membuat-Nya tertawa, mengangguk, menggeleng, dan menghela napas. Sebuah permohonan yang menjadikanku, hina. Dimata semesta.

Malam. Meski petala gelap aku melihatnya seumpama siang. Walau udara dingin aku merasakannya seolah hangat. Ketika semua manusia terlelap dalam buaian mimpi, aku harus terjaga.

Malam. Bagiku udara penyelamat jiwa-jiwa yang sekarat. Malam, adalah napas penuh rahmat. Malam, sebuah kisah antara iblis dan malaikat. Berkelebat menyusup kedalam hati untuk saling berlomba membisikkan dan mengajak maksiat, atau megingatkan aku akan balasan dan laknat. Peduli apa?!

Malam. Jangan kau tanya lagi kawan, siapa aku tak usah kau percaya. Siapa diriku jangan kau iba. Mengerti isi hatiku jangan kau tertawa. Jangan kau menghina. Jangan kau memuji. Aku tak pantas kau puji. Aku ini manusia keji. Yang tak pernah tahu arti pengorbanan. Bagiku, menyelamatkan jiwa orang yang aku cintai berpahala besar. Bahkan saking besarnya ganjaran itu, seolah aku merasa dunia ini bertasbih memujiku. Naif bukan?

Aku salah. Mataku buta. Hatiku terkunci. Jiwaku mati. Kalau aku tidak keliru. Inilah aku. Manusia setengah malaikat. Manusia setengah makhluk terlaknat. Aku seperti ada di atas mimbar cahaya yang terlaknat. Siap menunggu azab. Namun malaikat menangis memohon doa untukku. Mana yang benar? Hanya Tuhan yang benar.

Sekali lagi aku berkata. Aku bukan manusia sempurna. Aku bukan laki-laki yang tak berdosa. Aku ini seperti manusia, namun hatiku tak seperti manusia. Aku sendiri tidak tahu aku siapa.

Peduli apa?!

Cerpen Manusia Setengah Malaikat

***

Belum sempurna matahari terbenam, aku harus sudah melangkah menuju suatu tempat. Kulirik kanan dan kiri jalan. Setelah yakin tak ada yang melihat, akupun masuk ke sebuah gang kecil di ujung kota ini. Menyusuri lorong kumuh dan gelap. Becek. Dalam temaram rintik hujan. Aku agak kedinginan. Kutarik pengikat sweaterku. Lumayan hangat.

Langkahku agak tercepuk-cepuk. Pikiranku dikerat habis oleh sisa-sisa bayang wajah seorang yang sangat dekat denganku namun kini sedang kritis, sekarat. Bahkan hanya dia yang kumiliki dimuka bumi ini. Tak ada yang lain. Itu sebabnya aku tak ingin kehilangan dia. Aku tak mau lagi kehilangan orang yang kusayangi itu. Aku rela masuk kedalam neraka, asal dia bisa hidup dan tersenyum bahagia. Meminta ampun pada Tuhan atas dosa yang selama ini telah aku lama tabung. Hanya demi menyelamatkan nyawa. Seorang gadis belia. Yang cantik jelita. Namanya Risa.

Antara ikhlas dan melarang ia melepasku, tadi. Setelah meyakinkan aku baik-baik saja, dia merelakanku. Meski air matanya terus menetes. Meski ucapan tasbih ia lontarkan disela-sela kekhawatirannya. Meski hati kecilnya tidak ingin aku pergi. Tapi nalurinya terus berharap. Agar aku tetap pergi.

Aku terus berjalan. Tidak melihat dan peduli lagi dengan apa yang ada disekelilingku. Hingga aku berdiri sempurna di depan sebuah pintu. Tampak dari balik dinding kaca seorang wanita telah menunggu. Matanya menatapku dalam, wanita itu sepertinya telah lama menunggu di sofa berwarna merah. Aku masuk. Lalu duduk di dekat wanita itu. Dia dingin. Tatapannya menusuk.

“Jam berapa ini?!” wanita berambut bob layer itu menggerutu. Dia paling tidak senang dengan orang yang suka datang terlambat. Namun mengerti akan kondisi dan prospekku untuk bisnisnya. Wanita itu akhirnya bersikap lembut.

“Ma-maaf.” hanya itu sahutku. Tetap duduk termangu.

“Ada banyak customer yang suka sama kamu. Mereka elite dan glamour semuanya, seleranya tinggi, jangan buat mereka sakit hati. Jangan buat aku malu. Fee aku tambah kalau mereka mau kamu lagi besok. Mengerti…?!”

Aku mengangguk. Wanita itu memberiku sebuah amplop.

“Itu uang mukanya. Ingat! Mereka berani bayar kamu mahal. Itu tandanya kamu berkualitas. Mengerti?!”

Aku pun mengangguk, pelan sekali. Hatiku lirih menangis. Bayangan wajah seorang gadis jelas terlihat di depanku. Gadis itu merintih. Menangis. Kesakitan. Dia terbaring pada sebuah ranjang. Lingkar matanya gelap. Bibirnya kering pucat. Dia nyaris sekarat. Air mataku meleleh.

***

Tepat pukul 21:00 wib. Aku duduk seorang diri di ujung sofa merah ini. Gelisah. Resah. Gundah. Takut. Kalut. Entahlah. Aku tidak kenal lagi siapa diriku. Inilah aku. Manusia setengah malaikat. Jika aku tidak keliru. Dan aku masih menunggu. Entah seperti apa wajah orang yang sedang aku tunggu. Tak penting bagiku.

Jam dinding tertawa sinis menatapku. Mereka terdengar saling berbisik-bisik menggunjingku. Jarum panjang menatap menghina dina diriku. Jarum yang pendek terus menangis melihatku. Angka satu menatapku ragu. Angka dua menatapku sayu. Angka tiga menatapku cemburu. Angka empat menatapku malu. Hingga angka lima mengejutkanku, saat seorang wanita telah duduk di depanku. Persis di depanku. Pandanganku beralih pada sosok hawa itu. Cantik sekali.

“Hai…” lirih wanita berparas oriental tersenyum padaku. Sontak hatiku berdesir. Ini syaitan. Bukan wanita. Itu bidadari. Bukan malaikat. Aku tidak tahu bagaimana harus mendeskripsikan sosoknya. Dia aneh bagiku –penampilannya yang sangat glamour.

“H-hai…” sahutku, masih ragu.

“Udah lama, nunggunya?” tanyanya sambil meletakkan tas di atas meja. Aku menggeleng.

“Mau minum apa?” matanya liar menatap dadaku. Jantungku pun langsung berdegup. Sakit. Seolah aku telah menginjakkan kaki di tepi jurang penuh api. Nyaris tergelincir.

“Kamu kenapa? Kok, kelihatan kaku gitu…?” tanyanya menatapku. Aku larut dalam angan-angan. Membayangkan sebuah cambuk yang telah lama siap melucuti punggungku. Duri-duri beracun siap bercokol ditelapak kakiku. Rasanya perih, namun harus aku lewati. Tuhan Maha Pengasih.

“It’s My first time…” jawabku pasti. Namun hatiku getir.

Semenit kami saling diam. Mata masing-masing tak jelas menatap apa. Aku melihat pengunjung kafe yang mulai ramai berdatangan. Gadis itu melihat diriku yang sepertinya nyaris mati ketakutan. Aku diam. Ketika aku sadar telah masuk kedalam lingkar markas syaitan, darahku meledak ingin keluar. Ini tempat yang mengerikan. Semua manusia tak mengenal Tuhan. Hanya sekedar senang-senang. Rakus bukan kepalang. Dan aku, mulai menggigil ketakutan. Semakin ketakutan. Apalagi saat perempuan itu mendekatiku. Duduk merapat denganku. Perlahan mencium pipiku. Sontak aku beringsut menjauh. Wajah perempuan itu merajuk. Alisnya menyatu. Heran melihat tingkahku.

Perlahan ia mendekatiku lagi. Kali ini jemari kami menyatu. Napasku menderu. Amarah dan benci menjadi satu. Kedua kalinya dia menciumku. Aku geram gregetan. Kalau tidak mengingat derita gadis yang sekarang benar-benar sekarat. Aku tidak akan nekat masuk ke dalam lembah terlaknat. Inilah aku. Manusia setelah malaikat. Kalau aku tidak keliru.

***

Malam pertama bekerja, aku bisa mengelak. Mendadak asmaku kambuh. Perempuan berwajah oriental itu mengerti. Bahkan dia sangat mengerti. Memberiku fee tambahan untuk biaya berobatku tanpa kami harus melakukan penambat nafsu itu. Aku berterima kasih padanya. Besok, dia mau aku lagi –hanya bertemu. Jawabanku hanya insya Allah, itupun jika Tuhan mengehendaki. Perempuan berwajah oriental itu tidak lagi menciumku. Lima ratus tahun hukuman dalam neraka jika ia nekat menebar syahwat menciumku. Gadis itu pulang sambil menangis. Aku bertasbih.

Malam kedua aku di selamatkan seorang malaikat. Hampir saja ibuku di alam baka sana di siksa oleh galaknya mungkar dan nakir. Jika saja keperjakaan anaknya di renggut seorang gadis berambut pirang keturunan Finlandia. Tuhan masih menolongku. Aku tetap dapat uang tambahan. Kali ini bukan karena alasan sakit asma. Tapi perempuan itu berlinang air mata ketika aku ceritakan history keluargaku yang sengsara. Malam itu, setengah malam suntuk kami curhat. Aku duduk di sudut ruangan. Gadis itu aku minta tetap tenang di atas ranjang. Aku menjaga pandangan. Agar tak ada kemaksiatan.

Malam ketiga, seorang wanita cantik tidak mau mengerti. Aku harus bisa mengkoordinirnya–wanita cantik yang ada di depanku malam itu–agar Tante Maria tak marah padaku. Apa jadinya jika uang muka yang kuterima harus ditarik kembali olehnya. Mau kemana aku mencari uang sebanyak itu. Sedangkan sebagian, sudah aku gunakan. Untuk biaya berobat. Juga untuk makan. Dan malam ketiga itu. Ujian dari Tuhan tak terbantahkan. Wanita cantik itu begitu menggoda. Hatiku terus ingat untuk memuji Tuhan. Palingkan aku dari kebinasaan. Wanita itu liar. Dia nyaris menyentuh bagian yang seharusnya tidak boleh dia sentuh. Dan lagi-lagi malaikat menolongku. Wanita itu panik dan langsung pulang begitu mendapat kabar ibunya mendadak meninggal. Dan malam itu, kali pertama aku begitu senang mendengar kabar orang meninggal. Apa boleh buat.

Malam keempat. Aku tidak bisa bernapas. Dadaku sesak. Jiwaku seolah dikebiri dengan kepahitan hidup. Aku bertemu dengan gadis belia yang tak seharunya menjual harga dirinya. Aku lelaki. Dia wanita. Kami, sama-sama terjebak dalam keharusan mendapatkan uang secepat kilat. Bahkan kalau bisa lebih cepat lagi dari rambatan cahaya. Untuk orang yang kami sayangi. Aku butuh uang untuk adikku. Dia butuh uang untuk ayahnya. Malam itu. Separuh uang yang aku terima, aku hibahkan untuknya. Aku menangis. Dia menangis. Kami sama-sama bertasbih. Memuji Tuhan.

Malam kelima. Aku harus menambah malam lagi. Karena uangku masih kurang. Tidak apa-apa. Semoga masih banyak wanita berhati malaikat yang sudi memberiku uang secara ikhlas tanpa kami harus saling melepas nikmat. Nikmat yang terlaknat. Yang membuatku menggigil. Yang membuat otakku penat. Yang membuatku nyaris mati dalam umpatan seribu ikan di samudera. Dan lagi-lagi, aku selamat.

Alhamdulillah. Uangku cukup. Malam itu, aku segera ke Rumah Sakit. Menjenguk adikku tercinta, Risa. Dia menyambutku. Menanyakan kabarku. Menanyakan tempat kerjaku yang ia tahu aku adalah seorang barista. Seandainya ia tahu aku bukan barista. Mungkin Risa akan menangis meronta dan mengumpatku. Melaknatku. Dan yang lebih parah. Dia tidak bersedia menerima sumbangsihku. Aku tidak mau dia tahu. Biarlah derita ini menjadi rahasiaku. Rahasia malaikat yang ada di kanan dan kiri pundakku. Dan tentu, rahasia Allah juga.

“Ya Tuhan. Jadikan dustaku ini sebagai suatu kebaikan. Jika aku harus masuk dalam jahanam. Jadikanlah tubuhku besar. Agar daging dan kulitku cukup menutupi bara api dalam jahanam. Agar tak ada lagi manusia yang tersiksa nantinya. Biar aku saja yang tersiksa. Karena sejak kecil, batinku sudah terbiasa. Aku ikhlas. Aku rela. Aku puas.”

“Kak…” lirih Risa mengejutkanku. Aku mengelap air mataku.

“Kakak kenapa menangis…?” tanya Risa mengiba. Agaknya ia ingin tahu kesedihan apa yang membuatku menangis. Aku diam. Menahan sisa kesedihan.

“Kak…?” lirih Risa ketiga kalinya. Ia nyaris beranjak. Aku mencegah.

“Risa belum sembuh. Jangan banyak bergerak. Kamu makan dulu, yah. Habis itu, minum obat.” Kataku tersenyum sambil membantunya rebahan. Risa mengangguk.

“Kakak, kalau Risa sudah sembuh. Kakak mau belikan Risa apa?” satu suapan belum membuat mulutnya diam. Dia memang nyinyir. Tapi itu membuatku terhibur.

“Risa, maunya Kakak belikan apa?” kataku basa basi.

“Hmmm, Risa mau dibelikan boneka. Tapi yang besar, Kak. Biar jadi teman Risa tidur. Boleh kan, Kak…?”

“Insya Allah…”

Aku menyuapi satu sendok lagi. Risa lahap dalam keadaan yang sangat memprihatinkan. Bibirku tersenyum. Tapi hatiku menjerit. Aku butuh keadilan. Aku ingin kebebasan. Aku ingin adikku bisa segera disembuhkan.

“Kak, tadi ada teman Kakak datang kemari. Dia nyariin Kakak…” lirih Risa membuat dahiku berkerut.

“Si-siapa?!” tanyaku agak takut. Aku takut kalau Tante Maria nekat mendatangi Risa. Bisa kacau semuanya.

“Kalau nggak salah, teman kuliah Kakak. Namanya Kak Nadia.”

“Oh, Nadia? Memangnya, dia ngapain kesini…?” kataku sambil tetap menyuapinya. Mulut Risa penuh dengan bubur ayam, dia menjawab agak kurang jelas artikulasinya. Tapi kira-kira seperti ini, “Hmmm, dia mau bicara penting…” katanya sambil terus mengunyah.

“Bicara penting?” lirihku menatap lantai keramik Rumah Sakit ini. Tiba-tiba aku terpikirkan dengan tugas kuliah. Sepertinya aku tidak terlalu ketinggalan. Lalu, ada masalah apa dengan Nadia? Bukannya dia bisa menghubungiku lewat telefon?

***

Di kampus. Nadia membisu. Sikapnya tak bersahabat. Gelagat itu jelas sekali menunjukkan bahwa dia sedang marah padaku. Aku biarkan hingga dengan sendirinya ia sudi berbicara. Malam itu, saat acara pentas seni di kampus. Aku meminta Nadia berkata jujur, salahku apa padanya. Dia tak berdalih. Bibirnya lengket penuh dengan perekat. Telinganya disumbat rapat-rapat. Matanya dibalut warna pekat. Dia tidak mendengarku. Tidak melihatku. Tidak berbicara padaku. Dia mematung. Membisu.

Hingga akhir semester dia mau membuka hatinya. Dia memakiku dalam sunyinya malam. Dia menangis dalam derasnya hujan. Dia menjerit dalam lengangnya sang tabir yang telah lama pecah oleh perasaan. Perasaan dua insan yang selama ini hanya terpendam. Tak ada yang berani mengungkap. Tak ada yang berani berkata.

“Kalau kau butuh uang, bicara Fahri. Bicara….!” Nadia menjerit. Ia berteriak seakan sesalnya begitu dalam, menangis. Aku hanya bisa diam.

“Kau tahu aku mencintaimu. Aku tahu kau mencintaiku. Meski kita saling diam. Tapi perasaan ini tidak bisa dibungkam. Kau mengerti kan?” Nadia semakin menangis. Aku masih diam. Kami basah dalam derasnya hujan. Di tengah sebuah jalan. Yang sepi tak bertuan.

“Ka-kau. Kau benar-benar membuatku kecewa, Fahri. Aku tahu kau orang yang taat. Patuh pada Tuhan. Tapi kenapa kau lakukan hal itu, Fahri?! Kenapaaa?!” lagi lagi Nadia berteriak. Tangisnya semakin pecah. Bahkan suara halilintar tak sanggup menyaingi suara tinggi gadis keturunan kiyai itu. Nadia memukul dadaku. Dia melampiaskan semua marahnya padaku. Aku diam. Kubiarkan gadis yang sangat aku sayangi itu reda dengan sendirinya.

“Ma-maafakan aku, Nadia. Aku bukan laki-laki yang pantas untukmu. Aku jalang. Sedangkan engkau orang terpandang. Mungkin, aku memang hadir dimuka bumi ini bukan untuk jadi teman hidupmu. Kita bukan berjodoh. Aku kira ada laki-laki lain yang jauh lebih terhormat yang lebih cocok untukmu. Dan itu, bukan aku…” lirihku lalu pergi meninggalkannya. Nadia sesengukan. Aku menangis dalam langkah gontai ini. Menyusuri rintik hujan yang semakin terasa sakit menjahit kulitku.

***

Pagi itu Tante Maria datang kerumahku. Ia mengamuk dan mengumpat hingga beberapa ibu-ibu tetanggaku mendengar amarahnya yang menggelegar. Bisik-bisik tetangga menyebar. Begitu mereka tahu aku adalah salah satu laki-laki yang bekerja pada seorang germo.

“Tak tahu diuntung. Habis manis sepah dibuang. Kalau bukan karena aku, mana bisa kau mengobati adikmu yang penyakitan itu. Mikir nggak sih kamu itu?” teriak Tante Maria di depan wajahku.

“Terus, sekarang mau Tante apa?” kataku lirih.

“Hah?! Kamu tanya mau aku apa? Cih. Tolol kamu ya, Fahri. Aku mau kau tetap menemui customerku. Enak saja kau menghilang seminggu ini. Kau pikir itu bisnismu. Seenak jidatmu datang dan pergi begitu saja?! Nanti malam, ada yang ingin menemuimu. Dia bayar fee kamu lima juta. Kamu harus datang…” kelakar Tante Maria sambil berlalu.

“Ta-tapi, Tante. Saya nggak bisa…” Tante Maria keburu meninggalkanku.

Malam yang yang dinantikan tiba. Aku merasa tidak harus datang lagi ke tempat itu. Meski aku belum pernah sekalipun menjamah salah satu customer Tante Maria. Tapi, aku tidak bisa terus-terusan menghindar. Sepandai-pandainya tupai melompat, pasti terjatuh juga.

***

Aku dan adikku terus melaju. Ditemani angin malam yang menyayat. Ditemani embun malam yang menyengat. Ditemani cayaha temaram. Dalam kelam malam. Mengejar waktu.

Malam. Kau sangat kental denganku. Kau adalah hidupku. Kau penyelamatku. Kau tersenyum misteri padaku. Malam. Katakan pada Tuhan. Bisikkan pada-Nya. Kalau aku, sangat mencintai-Nya. Malam. Aku mencintaimu juga.

Dalam keadaan sakit aku terus menggendong Risa. Entah kemana yang penting aku harus membawanya pergi. Yang penting kami harus keluar dari kota ini. Hujan rintik-rintik membuatku ragu. Tapi aku harus tetap melaju. Risa menggigil. Aku merasakan tubuhnya panas. Aku khawatir demamnya semakin tinggi lagi. Kulepas kemejaku. Kusematkan membalut tubuh mungilnya.

Sudah belasan kilometer aku berjalan. Tapi tetap tanpa tujuan. Aku membuat Risa hangat dengan mengajaknya berbincang sekenanya. Semoga, dia baik-baik saja. Aku ingin mencari klinik terdekat. Aku harus membawanya berobat.

“Kak, kita mau kemana?” lirih Risa gemetar. Tanpa terasa air mataku meleleh. Aku diam.

“Kak, Risa takut…” lirihnya lagi.

“Jangan takut, Dik. Kakak kan ada didekatmu. Kamu harus kuat. Kita akan pergi ke tempat yang jauh.” Aku berlari-lari kecil mencari pertolongan. Hujan turun merintik-rintik. Semakin keras.

“Kak, kenapa Kakak menangis?” tanya Risa dengan tubuh yang semakin terasa getarannya. Dia sangat kedinginan. Aku semakin kuat menggendongnya.

“Kakak nggak nangis, kok. Sekarang kan hujan. Jadi Kakak seperti menangis, yah?” Risa menyandarkan kepalanya di punggungku. Aku terus menangis.

“Kak…” lirih Risa lagi.

“Ya, Dik. Ada apa?” aku mengelap air mataku.

“Risa sayaaaaaang sekali sama Kak Fahri. Kakak jangan pernah tinggalin Risa lagi, yah. Nanti Risa nggak punya teman. Nanti, nggak yang ceritain Risa dongeng lagi. Nggak ada yang belikan Risa es krim lagi. Nggak ada yang kasih Risa boneka lagi. Kakak janji yah, jangan pernah tinggalin Risa lagi…”

“Ya, Insya Allah, Kakak janji. Tapi, Risa harus kuat yah. Risa juga nggak boleh sakit lagi.”

“Ya, Kak,” sahutnya tenang, “Oh ya, Kak, kalau badan kita panas, kata Kakak itu sakit, kan?” tanya Risa menatapku. Aku tersenyum.

“Ya, Dik. Itu tandanya kita sakit..” sahutku datar.

“Berarti, sekarang Kak Fahri sakit. Badan kakak, panas…” lirih Risa setengah berbisik.

“Ahh, Kakak nggak sakit kok. Kakak kan cowok. Kalau jadi cowok nggak boleh sakit.”

“Tapi, badan Kakak panas.”

Aku diam.

“Besok, kalau Risa udah besar. Risa mau jadi dokter. Kalau Kak Fahri sakit. Nanti Risa yang obati. Kakak nggak usah bayar…” Oh Tuhan. Tenggorokanku seakan tersedak. Sakit. Sakit sekali. Aku hanya mengangguk menanggapi celotehannya. Tak sanggup lagi aku berkata-kata. Tubuh Risa semakin terasa panasnya. Demikian pula denganku. Semakin cepat aku berjalan. Semakin terasa nyeri disetiap sendi tulangku. Badanku gemetar. Kaku. Perutku perih. Kepalaku pusing. Aku limbung.

Perlahan tubuhku melemah. Tak tahu lagi aku harus berbuat apa. Hujan semakin menyiksaku. Angin malam semakin menusuk tulangku. Dosa-dosa yang selama ini aku perbuat, seolah turut gugur bersamaan dengan panas yang kudera. Tuhan. Jika detik-detik kematian sudah mendekat. Aku titip agar Engkau menjaga adikku ini. Katakan padanya kelak, aku sangat mencintainya.

***

Ditepi sebuah trotoar. Seorang gadis kecil duduk terpaku menatap tubuh seorang lelaki yang telah terbujur kaku. Lelaki itu tersenyum meski wajahnya tak lagi merah. Wajah tampannya membiaskan rona berseri meski matanya terpejam. Gadis itu terus menangis. Dia menyadari kakaknya telah mati. Dia menangis bukan karena hidupnya akan sengsara nanti. Melainkan ia telah kehilangan orang-orang yang telah dicintainya selama ini. Gadis itu juga menangis karena cita-citanya membalas budi belum tercapai. Dia sangat sayang pada kakaknya, sayang sekali.

Dulu, saat dia sakit, kakaknya itu adalah satu-satunya orang yang setiap waktu hadir menemaninya. Menyuapinya makanan. Teliti mengecek label obat. Hingga kakaknya tidak kuliah hanya demi menungguinya di Rumah Sakit. Tidak bekerja hanya untuk menjaganya. Gadis itu menangis terisak-isak. Malam masih sepi. Tak ada manusia yang melintas. Hanya hujan yang menetes. Langit menangis.

Gadis itu mencabut sebuah belati yang menancap dilambung kakaknya. Setelah memastikan orang yang melakukan hal itu telah lari entah kemana. Gadis itu menyimpan belati kedalam balik bajunya. Gadis itu masih menangis. Tapi kini dia tersenyum. Ketika darah yang mengucur dari perut kakaknya, kini berbau wangi. Lebih wangi dari minyak kasturi.

“Dia kakakku, manusia setengah malaikat. Kalau aku tidak keliru…” lirih gadis itu memangis.

Hujan turun semakin deras. Gadis itu mendekap erat tubuh kaku kakaknya tercinta. Menunggu matahari tersenyum menyambut pagi. Gadis itu tetap mendekap. Dia bernyanyi seperti nyanyian yang dulu kakaknya sering nyanyikan. Dia berdoa seperti dulu kakaknya berdoa. Gadis itu menatap langit perlahan. Titik-titik hujan deras terasa menimpa wajah bersihnya. Wajah gadis itu pias. Dia diam terpaku. Tetap mendekap kakaknya yang telah kaku. Kalau dia tidak keliru.

Malam. Ada sebuah kisah yang begitu menyakitkan. Ada segelintir cerita yang begitu perih menyedihkan. Ada segores harapan kecil dalam kenistanaan. Ada doa suci dalam dosa-dosa malam. Malam. Kau begitu temaram.

SEKIAN

Cerpen karangan: Imuk Yingjun

Twitter: @_imuk

Facebook: ShimuXC[-at]gmail.com

Ini merupakan cerita pendek karangan Imuk Yingjun, kamu dapat mengunjungi halaman khusus penulisnya di: Imuk Yingjun untuk membaca cerpen cerpen terbaru buatan penulis yang telah di terbitkan di cerpenmu, jangan lupa juga untuk menandai Penulis cerpen Favoritmu di Cerpenmu.com!

Cerpen ini lolos moderasi pada: 29 May, 2013

0 komentar:

Posting Komentar