Sesosok tubuh manusia kulihat sedang terduduk lesu sambil memeluk erat lututnya yang runcing di salah satu sudut ruangan. Seolah-olah takut kehilangan lututnya itu. Bangunan yang kumasuki ini bak istana para hantu. Tak terurus karena mungkin sudah di tinggalkan sang pemilik rumah sejak lama. Di halaman depan nampak berdiri kokoh pohon beringin bak seorang raja yang dikelilingi prajurit ilalang setinggi kurang lebih satu meteran. Di pekarangan samping kiri, terdapat sebuah sumur tua yang aku rasa sudah mengering. Karena ketika tadi aku iseng-iseng melemparkan batu ke dalamnya, tidak ada suara percikan air sama sekali. Atau mungkin sumur itu tak berujung. Sumur yang menghubungkan dunia kita dengan sebuah dimensi antah berantah. Di pekarangang kanan rumah terdapat sebuah kolam dan sepetak tanah dengan pepohonan yang mengering. Kolam itu Nampak gelap dalam siraman cahaya bulan purnama. Tak ada tanda-tanda kehidupan di sana. Seolah-olah waktu mati di tempat itu. Pekarangan sebelah kanan berbanding terbalik dengan pemandangan pekarangan sebelah kiri yang belukar. Di pekarangan belakang, rimbunan bambu saling bergesekan di terpa angin. Menciptakan satu harmoni yang tak biasa. Seolah-olah harmoni itu mencoba menggiring kita ke dimensi lain.

Ruangan tempat anak itu terduduk lesu sungguh sangat kotor, pengap dan lembap. Sarang laba-laba di mana-mana, kotoran sisa makan kelelawar berserakan, tikus-tikus berjalan kesana kemari seolah mengabaikan keberadaan kami. Bahkan ada beberapa tikus yang menggigit kaki anak itu. Bau anyir darah pun tak bisa di elakan. Ruangan ini gelap, hanya disinari sedikit cahaya bulah purnama yang masuk menerobos jendela kayu yang dibiarka terbuka.

Aku berjalan mendekati anak itu, mencoba menanyakan apa yang sebenarnya terjadi. Dan mengapa dia bisa ada di tempat menyeramkan ini. Harmoni gesekan bambu pun semakin keras, angin yang berhembus bertambah kencang, jendela kayu yang reot itu bergerak keluar masuk. Kreket… kreket… Bulu kuduku semakin berdiri. Keringat mulai deras bercucuran. Ternyata angin malam yang sangat dingin tidak mampu mendinginkan rasa takutku. Malah menambahnya.

Kini aku ada di hadapan anak itu. Dia sama sekali tidak melihat ke arahku. Dia masih tertunduk sama seperti tadi. Tikus-tikus yang menggigiti ujung kakinya telah pergi. Tapi dia tetap diam seolah-olah tak merasakan sakit di ujung kakinya yang berdarah.

Aku pun berjongkok berusaha melihatnya lebih dekat lagi. Tapi dia tetap menundukan kepalanya. Aku sungguh bingung, apa yang sebearnya terjadi pada anak di depanku ini. Aku pun memberanikan diri membuka suara.

“Maaf mas, kalau boleh tahu mas lagi ngapain di tempat seperti ini?”

Tak ada jawaban, hanya hening. Nyaliku seketika menciut, menerka-nerka siapa gerangan mahluk di depanku ini. Manusia kah? Hantu kah? Zombie kah?. Lolongan serigala membah suasana yang mencekam semakin mencekam. Suara burung hantu pun tiba-tiba terdengar tepat ti atas rumah. Seolah-olah tak mau ketinggalan berpartisipasi dalam menciptakan suasana mengerikan ini. “Perfect” batinku.

“Namaku Zaenudin Bangun setiawan. Aku terpisah dari rombonganku dan tersesat hingga menemukan rumah ini. Apakah mas juga tersesat sama seperti aku?”

“Namaku Satrio Abimanyu. Aku pun sama sepertimu. Terpisah dari rombongan dan tersesat hingga menemukan rumah ini. Mereka sengaja meninggalkan aku sendiri ketika hendak buang air!”

Alangkah terkejutnya ketika dia memperlihatkan wajahnya. Samar-samar memang, tapi aku cukup mengenal baik tampang itu. Wajahnya, rambutnya, bibirnya, tahi lalat di dagu sebelah kananya, semua itu mengingatkan ku pada seseorang. Pada diriku sendiri. Ya, dia mirip denganku. Sangat mirip malah. Walaupun namanya berbeda. Tatapan matanya tajam, aku bisa merasakan energi dari pancaran matanya. Energi yang menyiratkan dendam karena rasa sakit hati. Dia tersenyum sinis. Tiba-tiba hatiku pilu. Aku bingung dengan apa yang aku rasakan. Ini aneh. Sangat aneh. Aku tidak pernah memilki saudara kembar. Ada satu rasa semacam ikatan batin denganya.

“Sejak kapan kamu berada di sini?” Aku memberanikan diri bertanya padanya.

“Sudah lama sekali. Sangat lama malah.”

“Kenapa kamu tidak keluar dari tempat yang mengerikan ini?”

“Tak ada alasan untuk aku meninggalkan tempat ini. Tempat ini sangat nyaman bagiku. Aku menikmati setiap kehidupanku di tempat ini.”

“Menikmati…”

“Ya, menikmatinya. Menikmati kesendirian, menikmati kekosongan dan menikmati kehampaan.”

Aku ngeri mendengar pernyataanya. Orang yang mirip aku ini sepertinya sudah tidak waras lagi. Sepanjang aku hidup, belum pernah ada orang yang mengatakan “Aku menikmati kesendirian, kekosongan dan kehampaan.”

“Apakah kamu pernah berfikir kelurgamu, kerabatmu, pacarmu, sahabatmu dan teman-temanmu akan sangat menghawatirkan keberadaanmu?” Dalam rasa takutku, timbul rasa kepenasaranan yang akhirnya membuatku bertanya kembali.

“Persetan dengan mereka semua. Aku tidak pernah mempercayai siapapun di dunia ini. Bahkan Tuhan sekalipun, aku tidak mempercayainya”

“Kamu atheis…?”

“Ya. Aku Atheis semenjak Tuhan merenggut mimpi, harapan dan cinta yang pernah aku miliki.”

“Kamu sungguh sangat berlebihan. Tuhan melakukan itu karena dia cinta sama kamu. Dia ingin kamu menjadi manusia yang lebih baik diantara manusia lainya.”

“Kamu munafik.”

Aku tersentak mendengar pernyataanya tentangku. Ada apa dengan orang ini sebenarnya. Aku pasrah jika dia jin yang sedang menyamar menyerupai aku untuk bisa memakanku. Aku yakin Tuhan akan menolongku.

“Kamu tahu sejarah rumah ini?” tiba-tiba dia memecah lamunan sesaatku.

“Bagaimana aku bisa tahu, aku ke tempat ini saja baru pertama kali. Dan itu pun tersesat.”

“Harusnya kamu tahu dan lebih mengetahuinya dari pada aku.”

Aku terbengong-bengong. Mana mungkin aku tahu sejarah rumah yang baru pertama kali aku injak. Setiap kata yang keluar dari mulutnya makin susah di cerna. Banyak pertanyaan yang berputar-putar di otaku. Tapi mulut ini enggan mengungkapkanya.

“Rumah ini bukanlah rumah tua. Hanya saja rumah ini dibangun dengan pondasi kebencian dan berdindingkan dendam. Tak ada satu penyusun pun dalam bangunan ini bermaterialkan cinta dan kasih sayang. Itulah yang menyebabkan rumah ini terlihat begitu gelap, kotor dan kumuh. Keberadaanku di sini adalah untuk memeliharanya. Memelihara kebencian dan dendam itu. Sebelumnya aku juga telah mengetahui kalau kamu akan berkunjung ke sini. Aku telah menunggu saat-saat seperti ini sudah sejak lama.”

Penjelasaan anak itu semakin membuatku tak mengerti.

“Zaenudin Bangun Setiawan, apakah kamu belum juga bisa mengerti? Kamu adalah aku dan aku adalah kamu.”

“Apa maksud perkataanmu barusan.”

“Rasa sakit yang kamu terima akibat perasaan merasa diabaikan oleh Ayahmu, rasa sakit akibat kekecewaanmu terhadap Ayahmu, dan rasa sakit akibat perceraian kedua orang tuamu membuatku ada di sini. Di dadamu. Aku adalah bayangan kelam dirimu. Yang tanpa sadar kamu telah ciptakan. Rumah ini adalah salah satu sudut hatimu yang kelam. Dan aku adalah penghuninya.”

“Tidak, bohong. Kamu dusta. Katakan padaku siapa sebenarnya kamu ini? Apa yang kamu mau dari diriku? Jangan coba bermain-main denganku. Kalau tidak…”

“Kalau tidak, apa? Kamu takan bisa melakukan apa-apa. Kamu itu lemah. Ayahmu sendiri menganggap kamu banci. Hahahaha”

“Hentikan ucapanmu. Dasar setan kau.”

“Aku memang setan, setan yang kamu ciptakan dan kamu pelihara.”

Aku berjalan mundur menjauhinya. Aku terkulai lemas. Terduduk tanpa tenaga. Kata-katanya membuatku sakit. Aku menyesal telah menyapanya tadi. Dasar sialan. Lantas aku pun berteriak berharap semuanya berhenti. Dia tertawa semakin kencang dalam duduknya. Sekarang dia mencolek darah yang mengalir dari kakinya. Kemudian mengemut jarinya. Aku mual melihatnya. Aku muak dengan tingkah lakunya. Dia melecehkanku. Tiba-tiba air mataku menetes. Aku tak kuasa menahanya lagi.

“Dasar cengeng, hahahaha…” dia mengejeku.

Tiba-tiba dia bangkit dari duduknya. Berjalan gontai ke arahku. Sorot matanya, senyumanya membuat aku takut. Kini dia telah berada di sisiku. Dia duduk tepat merapat dengan tubuhku. Di meniupkan nafasnya ke muka ku. Tangan kananya merangkul pundaku. Tangan kirinya membelai rambutku. Sambil menjilati kupingku. Aku benar-benar takut di buatnya. Tetapi badanku terasa sangat lemah. Hingga aku tak mampu bergerak sedikitpun. Kini tangan kiri yang tadi ia gunakan untuk membelaiku, sekarang ia menggunakanya untuk mencolek darah yang masih keluar dari ujung kakinya akibat gigitan tikus tadi. Kemudian mengoleskanya ke bibirku. Tubuhku gemetar. Dia berbisik “Apakah kamu takut? Kenapa kamu harus takut pada ku? Aku adalah kamu. Sudah, hentikan tangisannya, aku tak suka jika harus melihat air mata. Itu hanya akan membuatmu semakin terlihat menyedihkan. Zaenudin ku sayang, kita hidup berdampingan dalam satu tubuh. Aku hanya ingin mengajukan satu permohonan padamu. Izinkan aku mengambil alih tubuhmu. Aku akan menunjukan padamu bagaimana caranya hidup itu. Kamu bisa beristirahat dengan tenang dan damai selama aku menggendalikan tubuhmu.”

Tiba-tiba dia menghilang entah kemana. Seketika itu kepalaku mendadak pusing. Tubuhku semakin lemas. Dan… aku tak kuat lagi.


Aku terbangun dalam keadaan tubuh penuh keringat. Akhirnya, tiba saat di mana aku mengambil alih tubuh ini dari Zaenudin. Menurutku dia sudah tak layak lagi mengendalikan tubuh ini. dia terlalu lemah. Dia terlalu rapuh. Dia seharusnya mati saja. Karena aku… Aku lebih pantas mengendalikan tubuh ini. aku aka tunjukan pada mereka, manusia. Bahwa dendam dan kebencian mampu merubah seseorang menjadi kuat. Bahkan berkali-kali lebih kuat.

Sambut kelahiranku wahai dunia. Dengan auman tangismu. Berhati-hatilah, karena aku akan menebarkan virus benci. Hahaha

Epilog :

Zaenudin mengalami koma setelah kecelakaan mobil yang menimpanya. Dalam komanya Zaenudin bertemu dan berdialog dengan seorang yang bernama Satrio Abimanya yang ternyata adalah sisi gelap dirinya. Zaenudin masih tetap koma walau tubuhnya sudah tidak koma lagi. Tubuhnya kini di kendalikan oleh sisi gelap dirinya. Satrio Abimanyu bukanlah sosok yang biasa-biasa saja. Dia mampu memanipulasi diri dengan hampir sempurna. Menipu orang-orang dengan bertingkah laku seperti Zaenudin. Tetapi di waktu-waktu tertentu, dia pun tampil sebagai dirinya sendiri. Sosok yang apa bila kita lihat matanya, maka kehampaan yang akan kita dapat. Dia adalah manusia pengutuk kehidupan. Jangan sekali-kali mendekati apalagi berkawan denganya. Jika tidak cukup memiliki benteng iman yang kuat, maka kalian akan tersesat. Berhati-hatilah denganya. Dia setan yang bersembunyi di dalam kepolosan.

By: Kang Zaen

Di Kontrakan Mungil, 2011.

Di Edit 13 Agustus 2013, 12.01 WITA, di Ruangan Administrasi Umum.

Cerpen Karangan: Kang Zaen

Facebook: zaenudin_setiawan[-at-]yahoo.com

Nama saya Zaenudin Bangun Setiawan. Lahir di Subang 03 Januari 1991 dari rahim seorang ibu bersuku Jawa dan ayah bersuku sunda. Saya adalah anak broken home tetapi menjadi broken home bukan alasan bagi saya tuk terpuruk. Sebenarnya saya bukanlah seorang penulis, saya hanyalah seorang pembaca yang kadang menulis.

Ini merupakan cerita pendek karangan Kang Zaen, kamu dapat mengunjungi halaman khusus penulisnya di: Kang Zaen untuk membaca cerpen cerpen terbaru buatan penulis yang telah di terbitkan di cerpenmu, jangan lupa juga untuk menandai Penulis cerpen Favoritmu di Cerpenmu.com!

Cerpen ini lolos moderasi pada: 23 September, 2013

0 komentar:

Posting Komentar