Koper besar itu terus diseretnya sekuat dia bisa. Koper hitam yang berisi pakaian-pakaian dan beberapa kebutuhannya nanti di sekolah barunya. Dia memandang beberapa orang anak yang diantar orangtuanya ke sana – stasiun -. Dia hanya melihat dirinya sendiri yang berangkat tanpa ditemani siapapun. Dirinya sendiri.

Dia masih meringis menanggung berat beban yang dia bawa. Tak adakah kasihan dari kedua orangtuanya untuk mengantar dia? Ah… mereka tak mungkin merasa kasihan. Tentu saja, mereka selalu menganggap dia itu tak ada gunanya. Maka dari itu, mereka akan mengirimnya ke asrama. Begitulah tinggal bersama orangtua tiri – Ayahnya menikah dengan Ibu tirinya. Ayahnya meninggal, dan Ibu tiri menikah lagi dengan Ayah tiri barunya – yang kejam. Dia seolah hanya seorang parasit dalam hidup mereka. Sedangkan kedua saudaranya – Billy dan Nelly -, selalu saja dimanja dan diutamakan. Tak seperti dirinya. Dikucilkan dan ditelantarkan.

“Arrgghh!” geramnya gusar.

Anak usia dua belas tahun itu masih menarik kuat-kuat kopernya. Dia sungguh sudah sangat lelah terus menyeret koper itu. Tak adakah satu orang yang peduli terhadapnya?

Kereta Express menuju Grondey-asrama tujuannya-sudah siap untuk melaju. Namun dia masih saja menyeret-nyeret kopernya. Padahal kereta akan meluncur sekitar lima menit lagi. Dia semakin terengah-engah.

“Hey, Nak! Kau butuh bantuan mengangkat kopermu?” ucap seorang pria tua dari belakangnya.

“Aa, iya. Tolong bantu aku Tuan.” balasnya dengan nafas tersendat-sendat.

“Oh! Kopernya berat sekali. Mengapa orangtuamu tak mengantarkanmu ke sini?” ucap pria tua itu sambil memanggul koper milik anak tersebut.

“Oh, mereka tak akan peduli padaku. Terimakasih, Tuan, mau membantuku.” ucapnya.

“Ini kopermu. Itu tak usah kau pikirkan. Semoga perjalananmu lancar menuju Grindey.” teriaknya.

Dia melambai tangan pada Pak tua itu. Lalu merogoh saku dan melihat nomor kursi yang akan dia duduki. Dia segera mengalihkan pandangannya ke arah kursi yang dia cari. Ahh, kursinya tepat ada di samping dia berdiri. Eh, tapi tunggu. Mengapa Pak tua itu tahu bahwa dia duduk di gerbong ini? Gerbong ke delapan? Ahh… biarlah! Yang penting sekarang dia sudah bisa masuk ke kereta. Tapi bagaimana caranya nanti dia keluar? Pasti kopernya berat juga. Koper itu tak mungkin berubah menjadi ringan ketika dia sampai di Grondey. Mana mungkin!

Dia melirik ke segala arah. Termasuk ke sampingnya dan depannya. Di samping tempat duduknya ada seorang anak perempuan yang tengah berkutat pada buku yang dia pegang. Sedangkan di depannya ada seorang anak laki-laki yang tengah mengunyah dan menggelembungkan permen karetnya.

“H-hay!” sapanya sedikit gelagapan.

Anak yang duduk di depannya menatap ke arah dia dan tersenyum paksa padanya. Dia pun kembali menatap keluar dan menggelembungkan permen karetnya.

“Irrgh…” dengusnya pelan sambil sedikit bergidik. Anak di depannya benar-benar sedikit jorok. Permen karet yang sudah meledak ke wajahnya dia kunyah kembali. Ihhh…!

Dia pun memalingkan pandangan pada anak perempuan di sampingnya. Sepertinya gadis itu melihat pandangannya. Dia menatap anak laki-laki tersebut dan tersenyum lalu duduk di sebelahnya.

“Hello? Namaku Elizabeth Benson. Siapa namamu?”

“Da-Darwin Wil-William.” ucapnya tergagap. Eliza tersenyum tipis.

“Bolehkan kau berbagi tempat duduk bersamaku? Aku tak ada teman di sana.”

“Te-tentu.” Darwin masih tergagap.

Dia memandang Elizabeth yang tengah menghafalkan beberapa kata dari buku tebalnya. Dia tampak sedang berkonsentrasi pada bukunya. Darwin menatap anak pemakan permen karet. Dan sekarang didapatinya anak itu sudah tertidur pulas di kursinya.

“Tanaman Fluste digunakan untuk menghangatkan orang yang sedang kedinginan. Sari-sari dari daun tumbuhan tersebut disaring dan disatukan dengan air yang sudah kita panaskan. Lalu aduk sampai air itu berwarna hijau dan berikan pada orang yang sedang kedinginan. Sekarang tanaman Kedilor digunakan…” hafal Eliza.

Darwin sedikit bingung dengan yang dihafalkannya. Nama-nama tanaman yang dia sebut sungguh asing. Tak pernah sama sekali dia mendengar salah satu dari nama tanaman yang dia sebut sungguh asing. Tak pernah sama sekali dia mendengar salah satu dari nama tanaman yang telah Benson sebutkan. Dia membuat Darwin sedikit bingung.

“Elizabeth?”

“Ya?” balasnya sambil tersenyum.

“Apa yang sedang kau hafalkan? Rasanya semua nama-nama tanaman tersebut asing bagiku.” ucap Darwin sedikit penasaran.

“Oh ini, ya? Apakah kau tahu sihir?” tanya Elizabeth. Darwin menggeleng.

“Kau akan masuk sekolah sihirkan di Grondey?” tanya Elizabeth lagi. Darwin masih menggeleng.

“Oh, kau bukan turunan penyihir, ya? Aku juga sebenarnya bukan, namun aku tahu. Sebaiknya aku tak memberitahukan hal ini pada manusia biasa. Kau pasti akan bersekolah seperti biasa kan di Grondey?”

“Mungkin.” jawab Darwin datar.

Elizabeth mengangguk-angguk. Dia tersenyum tipis pada Darwin dan kembali berkutat pada bukunya. Memangnya apa maksud Elizabeth? Memangnya ada sihir di Grondey?


Satu jam perjalanan telah berlalu. Kereta Express Grondey mulai mengeluarkan decitan besi dengan besi. Perlahan kereta itu mulai terhenti. Anak-anak dalam kereta segera berhamburan keluar.

“Darwin, kuharap kita bisa bertemu lagi. Aku harus pergi dulu. Bye!” bisiknya pelan di telingan Darwin.

“Bye!” balasnya lemah.

Darwin pun segera menyeret kopernya kembali. Rasanya semakin berat saja kopernya. Dia mulai meringis lagi. Argghh, kenapa harus menarik benda bodoh ini?

“Hey, Nak! Sini kubantu lagi!”

Tiba-tiba seorang pria tua mengangkat koper miliknya. Pria tua itu tak lain adalah pria tadi.

“Terimakasih, Tuan.” ucap Darwin. Pria itu tersenyum hangat.

“Oh, ya. Siapa namamu, Tuan?”

“Kau bisa panggil aku Robert.” ucapnya datar. Darwin memandangnya ke atas.

“Lalu siapa namamu, Nak?”

“Darwin. Darwin William.” balas Darwin. Pria itu menatap Darwin dan tersenyum lagi.

“Kau akan menjadi anak yang hebat, Darwin.” ucap Robert. Darwin tersenyum.

“Aku harap begitu. Terima kasih.”

“Baiklah, aku hanya bisa mengantarmu sampai ke sini. Sampai jumpa Rabu!” ucap Robert.

Rabu? Apakah mereka benar-benar akan bertemu lagi Rabu? Entahlah.

Ketika Darwin sedang bingung-bingungnya sendiri, sesuatu tiba-tiba terjatuh dengan bunyi ‘pluk’ di lantai. Darwin segera memungut benda tersebut di lantai. Dilihatnya itu sebuah kartu nama.

“Edgar Ferdinand!” sahutnya sedikit berteriak sambil membaca nama di kartu tersebut.

“Yeah, itu namaku!” ucap seorang anak seumurannya berambut coklat tua.

“Oh, kau menjatuhkan ini.” kata Darwin sambil menyondorkan secarik kertas yang berisikan nama dan beberapa identitasnya.

“Yeah, terimakasih banyak. Aku bisa dimarahi jika kartu ini hilang.”

Edgar mengambilnya dari tangan Darwin. Darwin hanya sedikit tersenyum simpul.

“Baiklah, aku sedang buru-buru. Aku duluan.” ucapnya sambil berlalu.

Darwin hanya mengangguk-angguk sambil menatap sekeliling. Sekarang ke mana dia harus pergi? Dia sungguh tak punya teman. Dilihatnya beberapa orang dengan menggunakan seragam yang sama. Mereka berjalan menuju lantai atas. Mungkin dia bisa mengikuti mereka terlebih dahulu. Pikirnya.

Dia segera mengikuti mereka dengan menyeret-nyeret koper besar hitamnya. Mereka berbelok, lurus, sampai akhirnya mereka hilang.

“Di mana mereka?” ucapnya bingung sendiri.

Dia segera menghamburkan pandangannya ke segala arah. Dilihatnya hanya kosong. Ruangan itu kosong melompong. Namun hanya ada satu benda terpampang di situ. Sebuah lukisan Monalisa raksasa. Dia pun menyentuh lukisan itu. Tiba-tiba matanya mendelik ke arah dia.

“Arghh!” ucapnya setengah kaget.

Mata Monalisa itu kembali seperti semula. Dia melihat-lihat lalu meraba pada bagian hidungnya. Persis sekali, hidung Monalisa itu timbul. Dia memutar hidungnya dan akhirnya dia tersedot ke dalamnya.

“Arrgghhh!”

Dia berputar-putar. Rasanya pusing sekali. Dia merasa dirinya digoncangkan dan dikocok-kocok keras. Matanya tak bisa memandang dengan jelas. Dalam waktu beberapa detik kemudian, dia sudah terjatuh di atas lantai dengan kopernya.

“Yeah, itu bagus sekali. Monalisa itu mempermainkanku.” ucapnya sendiri sambil menyentuh kepalanya yang berambut hitam legam.

Dia membenarkan rambutnya yang sedikit berantakan. Dia pun segera bangun dari jatuhnya.

Tunggu, di mana dia? Ini bukan Grondey. Sekolah ini berbeda dengan Grondey. Mereka – orang-orang yang berlalu lalang di sana – memakai pakaian yang sangat aneh. Mereka memakai jubah hitam panjang. Baju-baju mereka semua berwarna coklat tua. Mereka membawa sebuah tongkat yang kira-kira panjangnya tiga puluh centi meter. Darwin semakin kebingungan. Mengapa dia bisa ada di sana? Hanya lewat hidung Monalisa?

“Darwin!” seru seseorang.

Suaranya melengking tinggi. Sangat kecil dan memekik.

“Yeah?”

Darwin mendongak. Dilihatnya gadis berambut pirang sepunggung dan tersenyum simpul padanya.

“Elizabeth?” tanyanya.

“Bagaimana bisa kau di sini? Kau ikut sekolah sihir?” tanya Elizabeth sedikit berbisik.

“Sihir? Aku tak tahu sama sekali. Tadi aku memutar hidung Monalisa, dan tiba-tiba saja dia menyedotku. Dan jadilah aku di sini.” ucap Darwin. Dia berucap sambil sedikit kebingungan.

“Jadi kau tak sengaja di sini?”

“Bisa dibilang begitu mungkin.” ucapnya malas.

Elizabeth pun segera membuka koper Darwin.

“Untuk apa kau membukanya?”

“Aku harus melihat, apakah kau membawa peralatan sihir atau tidak.” ucap Elizabeth.

Dia membuka koper itu. Dan TARA! Isi koper itu adalah peralatan penyihir terbaru dan terbaik. Di dalam koper milik Darwin lengkap sekali. Mereka berdua kaget. Mengapa ada peralatan itu di dalam koper Darwin?

“Pantas saja koperku berat sekali. Isinya itu semua. Siapa sih yang memasukannya?”

“Hah?! Lihat! Kau punya kartu nama ini. Ini kartu penyihir. Berarti ada salah satu keluargamu penyihir di sini.” ucap Elizabeth.

Darwin semakin bingung. Dia tak mengerti apa yang sebenarnya telah terjadi padanya. Semuanya memusingkannya.

“Ahh, aku tak mengerti apa maksudnya.”

“Kau lihat! Di sini kau berdara di hotel D. Atau bisa disebut dengan nama Drawsenclass. Kita satu hotel. Ayo, kita harus segera ke sana!” ajak Elizabeth.

Darwin hanya menuruti dan berjalan bersamanya. Dia pun masuk ke dalam sebuah kelas yang biasa-biasa saja dan sederhana. Namun dia kaget ketika seseorang yang dikenalnya ada di sana.

“Edgar!” sahutnya.

Edgar mendongak. Dia tersenyum ketika melihat orang yang telah menolongnya tadi ada di sana.

“Eh, hay! Maaf tadi aku buru-buru.” ucapnya.

“Tak apa-apa. Ternyata kita berada di satu hotel, ya.” ucap Darwin.

“Darwin! Aku harus ke kamarku dulu. Di sini kamar pria, aku sekedar mengantarmu saja. Bye.” ucap Elizabeth sambil berlalu.

Darwin hanya menarik alisnya sedikit. Edgar menyenggolnya.

“Aku lupa, aku belum tahu namamu.”

“Darwin William.”

“Waw! Seperti kepala sekolah kita. Profesor. Albert William.” ucap Edgar dengan mata abu-abunya.

“Yeah, banyak orang dari keluarga William.” katanya lagi.

“Yeah, sepertinya.” Darwin menambahkan. Kelihatannya sekarang Darwin sedikit tenang. Dia sudah punya teman dan akan menjalani hari-hari bersama teman barunya. Walau baru dua orang.


“Kemarin aku melihat orang-orang memakai jubah hitam di sini. Tapi mengapa sekarang jadi coklat, ya?”

“Astaga! Darwin, kau benar-benar melihatnya?” Elizabeth terlihat kaget. Begitulah dia, selalu berlebihan ketika dia kaget.

“Yeah, bisa dibilang begitu. Mereka semua memakai seragam coklat dan jubah hitam.”

“Ini gawat!”
Elizabeth langsung berlari entah ke mana tujuannya. Dia terlihat sangat buru-buru. Darwin, Edgar dan Samantha – teman baru Elizabeth – hanya memandangnya aneh. Mereka memang baru pulang dari kelas Mantra. Pelajaran pertama mereka.

“Ada apa dengan anak itu? Dia memang berlebihan.” ucap Edgar.

Mereka kembali melanjutkan perjalanan mereka menuju hotel masing-masing. Sesampainya di sana, tak ada Elizabeth. Dan Samantha harus pulang sendiri ke kamarnya.

“Kasihan Samantha, gara-gara gadis itu dia ke kamar sendirian.” Edgar langsung menyerocos ketika mereka sampai di kamar.

“Mungkin dia memang seperti itu.”

“Oh yeah, setelah ini kita akan belajar apa?” Edgar tampak sedang memilah-milah buku.

“Biologi. Tapi sepertinya semuanya aneh-aneh. Aku tak mengerti. Sejak di kereta aku melihat Elizab..”

“Hah, hah! Akhirnya aku tahu penyebabnya!” Elizabeth tiba-tiba datang ngos-ngosan sambil membawa buku dan memotong pembicaraan Darwin.

“Ini! Kau memiliki kelebihan Darwin. Setiap orang yang kau lihat memakai jubah hitam, mereka adalah orang-orang tersembunyi dan orang-orang yang bertentangan di sekolah ini. Ada cara untuk mempelajarinya. Kapan kau belajar tentang itu Darwin? Ahh, aku sangat lelah.” ucap Elizabeth dengan nafas terengah-engah. Edgar sedikit memandang aneh padanya.

“Darwin tak menyuruhmu untuk memberitahunya.” ucap Edgar.

“Tapi aku harus tahu!” Elizabeth membentak.

“Lihat Samantha! Dia pulang ke kamar sendirian.” kata Edgar dengan memutarkan bola mata ke arah tangga. Memang, kamar perempuan ada di atas.

“Aku tahu. Dia bernama Samantha Fransisco. Dia memang lebih cantik daripada aku. Dia memiliki rambut merah ke coklat-coklatan. Mata hijaunya yang besar memang membuatnya tambah cantik. Dia juga pintar. Tapi aku tak akan membiarkannya menyaingiku. Dan aku juga tahu kau lebih kasihan padanya!” gertak Elizabeth panjang lebar pada Edgar. Dia pun segera berlalu dari pandangan mereka. Edgar semakin memandangnya aneh.

“Mengapa dia menggertakku? Apa sih maunya? Aneh-aneh saja, membandingkan dirinya dengan Samantha apa maksudnya?” ucap Edgar sedikit bingung. Darwin tertawa kecil.

“Hahah, yeah. Dia sedikit aneh. Mungkin karena sifat wanita yang cerewet.”

“Dia bahkan lebih cerewet dari wanita normal!”


“Hay, Darwin!” sapa Elizabeth ketika berjalan dengan Samantha ke bawah.

“Hay!” balas Darwin.

“Hay Samantha!” Edgar menyapa Samantha.

“Tak ada ‘HAY’ untukmu!” ucap Elizabeth pada Edgar. Dia sedikit mendelik pada Edgar dan menarik tangan Samantha keluar.

“Lihat dia! Betapa sensitifnya. Aku suka menjaili gadis sensitif seperti dia. Hhahah, akan kujadikan mangsa.” ucap Edgar sambil tertawa. “aku baru tahu ada orang se-aneh dia – Elizabeth -.” lanjutnya lagi.

“Baiklah, cepat. Hari Rabu ini jadwal kita penuh. Sekarang kita akan belajar Pengendalian Tenaga Dalam dan langsung menuju Ramuan. Setelah itu Ramalan.” ucap Darwin sambil membereskan buku yang akan dia bawa.

“Sekarang tak ada istirahatnya, ya? Ahh…” keluh Edgar. “Berapa lama kita belajar?”

“Dua jam. Dan kita akan kembali ke hotel pukul 14.00. Setelahnya berkeliling Grondey terlebih dahulu. Kita kan baru di sini. Kita harus lebih mengetahui tentang sekolah baru kita ini.” ucap Darwin.

“Ahh… pasti sampai sore. Setelah itu kita akan pergi ke Aula untuk perkenalan dengan murid lain? Huhh… kenapa harus sekarang sih? Harusnya awal-awal kita datang di sini.” keluh Edgar lagi.

“Kata Elizabeth sih kepala sekolahnya belum datang kemarin. Jadi hari ini.”


“Ramuan Cooldinact untuk menghangatkan orang. Ramuan ini dari tanaman Fluste.” ucap Cole dengan sok.

“Uhh! Aku juga tahu itu! Kalau saja aku yang ditunjuk, aku pasti bisa.” ucap Elizabeth sinis.

“Sudahlah Mrs. Benson, dia itu bernama Cole Hilton. Kelas A. Agreniaclass. Kelas atas. Dia anak pejabat. Kelas A memang pintar semua, kau jangan iri begitu!” ucap Edgar menahan tawa.

Elizabeth mendelik lagi pada Edgar. Edgar memang sangat senang membuatnya kesal.

“Baiklah, jam pelajaran selesai. Kalian boleh bubar!” ucap Profesor. Colin dengan kumis tebalnya yang terpampang di bawah hidungnya.

Semua anak pun berhambur keluar. Elizabeth yang tadi kesal kepada Cole Hilton langsung menghampirinya.

“Kau harus berbicara denganku Hilton!” ucap Elizabeth.

Cole hanya memasang tatapan keji padanya dari bola mata coklatnya.

“Ada apa Mrs. Benson? Iri dengan kepandaianku? Aku baru melihat gadis yang berani pada seorang pria. Apalagi gadis kelas rendah sepertimu! Kelas D. Hampir rendah. Hanya satu tingkat dari yang paling rendah!” ledek Cole.

Wajah Elizabeth merah padam. Dia sudah menggenggam erat-erat bajunya.

“Sudah Elizabeth! Kau tak perlu seperti itu!” ucap Edgar menggenggam tangan Elizabeth.

“Tidak Edgar! Dia harus dapat pelajaran!” bantah Elizabeth.

“Kau mau apa Edgar? Mau ikut campur urusan kami? Hah? Aku dengar kau sering dimarahi orangtua dan Kakakmu. Hhaha, sudah miskin, nakal, bodoh… ARGHHH!” Cole terhenti dan terhuyung.

Ketika dia akan menyelesaikan kata itu dia dipukuli Edgar. Wajah Edgar sama-sama merah padam. Darwin mencegah Edgar untuk memukul Cole lagi.

“Sudah Edgar. Tak ada manfaat memukulnya!”

“Diam Darwin!”

“Oh, jadi pria berambut hitam, bermata biru dan berkulit bayi ini bernama Darwin. Mereka – Edgar dan Elizabeth – sahabatmu, ya? Pantas saja! Miskin dan rendah itu cocok!” ucap Cole keji sambil berlalu dari hadapan mereka.

Darwin terus menggenggam tangan Edgar. Sementara Elizabeth mencibir. Edgar melepaskan tangannya sekeras mungkin.

“Ini semua gara-gara kau!” tuduh Edgar pada Elizabeth.

“Aku? Mengapa kau harus ikut campur? Jadi menyalahkan aku!” Elizabeth menatap sinis Edgar.

“Ya! Aku kasihan padamu! Jika terjadi sesuatu padamu bagaimana?”

“Oh, jadi sekarang kau mulai peduli padaku?!”

Mendengar Edgar dan Elizabeth berdebat membuat telinga Darwin memanas. Semuanya sungguh membuatnya geli.

“HEYYYY!” teriak Darwin keras.

Elizabeth dan Edgar mendongak seraya berkata “APA?!” dalam waktu yang sama. Darwin tersentak. Apa yang harus dia lakukan?

“Kita kita.. Um,” dia melotot ketika mengingat sesuatu. “kita ketinggalan pelajaran Ramalan!”

“Tidak! Murid sepertiku tak boleh terlambat!” ucap Elizabeth.

Mereka bertiga segera berlari menuju ruang Ramalan. Tepat di ujung koridor bawah. Mereka harus menuruni tangga terlebih dahulu untuk sampai di sana.

“Mengapa aku harus terlambat? Baru kali ini.” keluh Elizabeth.

Dia memang tak pernah terlambat waktu sekolah. Mungkin baru kali ini.

Mereka terus berlari. Dari kejauhan terdengar suara seseorang.

“Sekarang Darwin William, Edgar Ferdinand dan Elizabeth Benson terlambat. Dan mereka akan datang… sekarang!”

Tepat di ujung sekarang mereka pun datang. Mereka tampak kelelahan dan nafasnya terengah-engah. Elizabet memegangi ujung meja dan Edgar mengusap wajahnya. Sementara Darwin memegang sebelah perut dan sedikit membungkuk. Mereka tak melihat senyuman dari Profesor yang ada di depan kelas.

“Maafkan kam Profesor. Kami terlambat, Anda tak akan memotong poin kami, kan? Kami sungguh minta maaf.” ucap Elizabeth dengan nafas tersendat-sendat.

Pria tua yang berdiri di depan kelas hanya tersenyum sambil menggeleng pelan.

“Sudahlah jangan dipikirkan. Kalian boleh duduk.” ucapnya ramah.

Mereka segera duduk. Ketika Darwin duduk di sana dan menatap ke depan, dia sedikit kaget.

“Tn. Robert?” tanya Darwin. Robert hanya tersenyum.

“Baiklah. Seperti yang telah teman kita katakan, kalian bisa memanggilku Robert. Jika ingin tahu, namaku Vicktor Robert. Sekarang mari mulai pelajaran pertama kita.” ucap Profesor. Robert. Darwin sedikit kagum padanya. Dia telah bilang pada Darwin bahwa mereka akan bertemu di hari Rabu. Dan sekarang Rabu. Dia benar-benar pandai dalam hal meramal.


“Profesor. Robert berkata padaku bahwa aku akan bertemu dengannya pada hari Rabu. Dan dia benar.” ucap Darwin.

“Mungkin dia tahu kalau pelajarannya akan dilaksankan hari Rabu.” ucap Elizabeth.

“Tapi aku tetap kagum padanya.” balas Darwin.

“Sudahlah, ayo kita simpan jubah besar ini. Saatnya berkeliling Grondey. Pasti kali ini seru.” kata Edgar. Samantha mengangguk. Terlihat Elizabeth mencibir.

“Kau lihat, ada dua orang gadis cantik yang menyukaiku.” bisik Edgar pelan di telinga Darwin. Sementara Darwin hanya tersenyum kecil saja. Memang Edgar lebih menarik daripada dia. Tapi Darwin memiliki wajah yang lebih imut dari Edgar.

“Baiklah, kami ke atas dulu ya Darwin. Mau nyimpan jubah sama buku. Sampai nanti di Aula depan.” ucap Elizabeth sambil melambai pada Darwin. Darwin tersenyum simpul. Edgar menyenggolnya.

“Menurutmu, mengapa Elizabeth selalu marah ketika denganku, ya? Dia sungguh aneh sekali.” Edgar kembali bercerita tentang dua gadis yang entah disukainya dan entah menyukainya. Tapi sepertinya yang disukainya.

“Entahlah,” jawab Darwin datar.

“Tapi dia selalu berbuat baik padamu.” Edgar melanjutkan.

“Yeah, kelihatannya begitu.” Darwin membalas.

Edgar sedikit terdiam. Darwin masih membereskan buku-buku yang sedang diberesinya. Edgar menatap Darwin lekat-lekat. Terutama pada bagian matanya. Entah ada hal apa yang membuatnya tertarik untuk menatap Darwin. Darwin jadi merasa tak enak.

“Kau kenapa, Edgar?” tanya Darwin canggung. Edgar tampak serius sekali mengamati Darwin.

“Matamu sangat mirip dengannya. Juga rambutnya.”

Nya? Nya siapa? Siapa yang dimaksud Edgar?

“Apa maksudmu? Aku tak mengerti.”

“Prof. William. Dia sangat mirip denganmu. Apa jangan-jangan….”

“Hey ayo!”

Samantha tiba-tiba datang dang memutuskan pembicaraan mereka. Darwin sedikit kaget. Begitu pun Edgar.

“Aku mengagetkan kalian, ya?” tanya Samantha.

“Tidak, ayo berangkat.”

Edgar pun berjalan keluar dengan Samantha. Namun Darwin masih membereskan bukunya.

“Di mana Edgar?” Elizabeth tiba-tiba muncul dari belakangnya. Darwin langsung mendongak.

“Eh, kau Elizabeth. Dia sudah berangkat bersama Samantha.” ucap Darwin datar.

“Ya, ya, ya. Dia lebih suka pada Samantha. Kau mau kan bersamaku sekarang? Aku tak punya teman.” ajak Elizabeth. Darwin pun menggertakkan ujung bukunya pada meja agar rapi. Dia lalu menyimpannya di atas sana. Segera dia berjalan menuju Aula Depan dengan Elizabeth.

“Kau bilang kemarin Kepala Sekolah kita sakit. Jadi pertemuan dan perkenalan murid barunya sekarang?”

“Ya, dia katanya sakit keras. Aku turut kasihan padanya. Jika dia meninggal. Jika dia meninggal, tak ada yang akan memegang sekolah ini. Karena kabarnya, sekolah ini diwariskan secara turun temurun. Dan kepala sekolah sekarang kita sedang sakit keras. Dia juga tak memiliki anak. Kudengar anaknya telah lama meninggal. Jadi terpaksa, harus ada seseorang dari staf maupun guru yang akan jadi pemimpin di sekolah ini. Walaupun rasanya dia keberatan.” ucap Elizabeth panjang lebar. Darwin terdiam. Dia masih terus berjalan menuju Aula Depan. Pandangannya dia tundukan. Rasanya dia tak mau berangkat ke luar Grondey untuk berkeliling. Dia ingin tetap di dalam sekolah. Tapi bagaimanapun juga, dia harus tahu tempat-tempat di sekitar sekolah barunya. Kalau saja ada tempat berbahaya.

Dia segera merapat dan berbaris dengan anak-anak lain yang satu hotel dengannya. Termasuk Edgar, Elizabeth dan Samantha. Dia berbaris paling belakang. Tepatnya di belakang Elizabeth. Dia merasa sangat ragu untuk melangkah keluar.

“Baiklah anak-anak, kalian jangan berpisah satu sama lain. Kalian bisa saja tersesat. Jadi diharapkan untuk tenang dan hati-hati.” kata salah seorang pria jangkung berkacamata. Dia sepertinya senior di sekolah ini.

“Baiklah, kita berangkat setelah hotel C nanti. Sekarang hotel A terlebih dahulu.” ucapnya lagi.

Murid hotel D kelas satu yang kira-kira ada sekitar 23 orang masih berdiri dan berbaris di sana. Mereka tampak sedang menunggu bagian mereka untuk berkeliling. Sampai akhirnya, mereka siap untuk berangkat.

“Baiklah, sekarang kita berangkat.” sahut pemuda rambut hitam itu.

Mereka segera keluar dan berkeliling di sekitar sekolah. Tepat di sebelah kanan bangunan tersebut, ada sebuah bangunan lagi. Itu adalah RS Grondey. Jika ada yang sakit, mereka tak perlu pulang untuk berobat. Lalu sebelah selatan ada taman dan kebun. Di sana adalah tempat untuk praktek pelajaran biologi. Karena tumbuhan dan hewan Grondey selalu ada di sana. Dan di belakang sekolah – utara – berdiri sebuah lapangan yang cukup luas. Di sana bisa dipakai untuk berolahraga. Dan satu-satunya olahraga yang ada di sana adalah bersapu terbang. Dan di sebelah timur asrama ada sebuah hutan. Hutan Scarymus. Hutan paling menakutkan. Juga hutan tempat di mana hewan-hewan buas dan tanaman liar berada. Konon katanya, di sana jika seseorang masuk ke sana tak akan bisa pulang kembali.

“Jadi kalian tak boleh pergi ke sana. Sudah banyak orang tersesat dan mati kelaparan. Atau mati di makan hewan dan tumbuhan buas. Mereka bisa saja diam, tanpa kita ketahui mereka ada dan akan menyergap kita.” seru pria tinggi itu.

Darwin terus memandangi hutan tersebut. Walau siang bolong begini, tapi terlihat sangat gelap.

“Dan banyak yang mengatakan di sana juga ada seorang penyihir tua yang sangat jahat. Dia bisa mengendalikan seseorang dengan darah dan detak jantung di tubuh kita.” jelasnya lagi.

Darwin terdiam. Kepalanya terasa sangat pusing sekali. Kabut tebal tiba-tiba memburamkan pandangannya. Telinganya seakan tuli akan suara.

“Elizabeth! Edgar! Samantha!” teriaknya dengan menyipitkan sedikit matanya. Dia tak bisa melihat dengan jelas. Dan matanya sangat sakit.

“Kita harus membunuhnya. Ini semua untuk mencegah ramalan itu benar. Untuk mengambil alih seluruhnya, kita harus membunuh keduanya. Jika kita berhasil, maka semuanya akan jatuh ke tangan kita!” ucap seorang pria bersuara dingin dan parau.

“Hahaha! Kau harus membayar dan membuatku muda dan selamanya.” kata seorang wanita dengan suara memekik tinggi.

“Itu bukan masalah besar. Aku bisa langsung membuatmu lebih cantik dari sebelumnya.” suara dingin parau itu kembali muncul.

“Baiklah, akan kusiapkan segala yang kau butuhkan. Asal kau menepati janjimu, aku bisa membuat ramuan itu…”

Darwin tak mengerti. Semakin lama, kabut itu semakin tipis dan hampir membuat matanya tak bisa melihat. Semakin lama semakin berubah gelap. Dia mencoba membuka matanya. Dilihatnya seorang pria tua sedang duduk di depannya.

Matanya sudah terbuka lebar. Dia sedikit menggosok-gosok matanya dan bangun untuk duduk. Pria dengan rambut putih itu menatap Darwin. Dia tersenyum simpul padanya. Matanya sangat mirip dengannya. Hanya saja hidung miliknya sedikit bengkok daripada Darwin.

“An-da sia-siapa?” tanya Darwin gemetaran. Terkadang dia memang sering gelagapan bila melihat orang yang tidak dikenalinya.

“Aku Albert William, kau tak kenal kakekmu?” ucapnya dengan suara serak dan mencoba dilembut-lembutkan.

“Profesor. William?” tanyanya kaget.

“Ya, anakku. Kau tak usah memanggilku Profesor, panggil saja aku Kakek.” ucapnya.

Rasanya Darwin sedikit canggung bila menyebutnya dengan panggilan ‘Kakek’.

“Kau tak sakit, Nak?”

“Tidak, Profesor.” balasnya singkat.

“Baguslah kalau begitu. Aku harus pergi ke ruanganku. Banyak tugas yang belum kuselesaikan.” ucapnya sambil berlalu.

Ketika Albert William membuka pintu, Edgar dan dua teman baiknya sudah ada di depan pintu. Mereka memberi salam pada Kepala Sekolah mereka lalu segera berlari menuju Darwin.

“Hey, Darwin. Kau baik-baik saja?”

Seperti biasa, Elizabeth yang paling dulu menyapanya. Darwin tersenyum sambil sedikit membenarkan rambutnya.

“Aku baik-baik saja.”

“Lalu tadi mengapa kau pingsan?” tanya Edgar. Pingsan? Benarkah dia pingsan?

“Aku pingsan?”

“Yeah, kau tadi pingsan ketika mengelili sekolah. Tepatnya ketika di dekat hutan. Kau melihat sesuatu?” tanya Samantha sedikit ngeri. Darwin hanya diam. Dia tak pingsan, dia sadar. Ada orang yang berbicara ketika tadi.

“Tapi…”

Belum Darwin menyelesaikan ucapannya, Edgar sudah menyela.

“Oh, ya Darwin. Kau tahu kan? Kau adalah cucu dari Albert William. Apa benar Ayahmu bernama Daniel William?”

“Yeah,” balas Darwin datar.

“Waw! Ayahmu adalah salah satu penyihir terhebat di dunia. Tapi sayang, dia telah meninggal.” ucap Elizabeth sedikit murung.

“Begitukah? Yeah, Ayahku meninggal dalam usia yang sangat muda.” ucap Darwin murung juga.

“Oh, ya! Ada berita bagus lagi untukmu! Semua orang dan murid di Grodey sudah mengetahui siapa kau. Wah, kau pasti tenar.” puji Edgar pada Darwin. Darwin sedikit memamerkan giginya yang rapi. Elizabeth dan Samantha ikut tersenyum juga. Mereka pun segera keluar dari Rumah Sakit tersebut. Darwin memang sudah tak sakit.

“Kau akan keluar Darwin?” tanya seorang perawat ramah padanya.

“Yeah, aku tak apa-apa.” ucapnya.

Keempatnya langsung keluar. Darwin belum segan untuk menceritakan seluruh kejadian yang dia alami tadi. Jujur saja, dia tak mengerti. Dia juga merasa semuanya nyata. Apa karena kelebihan yang disebut Elizabeth itu, ya? Pikirnya.

“Elizabeth!” serunya. Elizabeth mendongak.

“Apa nama kelebihan yang kau maksud padaku waktu itu?”

“Oh itu, ya? Namanya kalau tak salah Sleepylife Body. Jadi kejadian di mana kita bisa merasakan sihir jahat atau ilmu hitam yang ada di dekat kita hanya dengan memejamkan mata. Tapi itu sulit. Tapi kita juga dapat merasakannya dengan melepas kesadaran pada tubuh. Atau hampir terasa seperti mimpi. Di mana tubuh kita tertidur, namun ruh kita sadar. Darisana kita bisa berkelana dan merasakan kejahatan.” jelas Elizabeth. Darwin akhirnya mengerti. Dia memang bisa merasakan sentuhan hitam. Dia bisa merasa ada sesuatu yang mengganggunya. Dia juga merasa ada rencana jahat yang akan seseorang lakukan. Walau begitu, dia tak ingin membicarakan hal itu terhadap temannya. Dia malah tak menyukainya.

Di tengah perjalanannya menuju hotel, banyak murid Grondey yang menyapanya. Dia hanya sekedar tersenyum atau membalas sapaan mereka dengan berkata, ‘Hello’, ‘Hay’. Mungkin itu juga cukup.

“Elizabeth, mengapa aku merasakannya sekarang? Tak sebelumnya.”

“Tentu saja, di rumahmu tak terjangkit sihir. Makanya, kau tak bisa merasakannya. Di sini kan penuh dengan sihir.” jelas Elizabeth lagi.

Waw! Dia memang pandai. Apakah Samantha lebih pandai darinya?

“Aku dengar cucu dari KepSek di sini seorang murid kelas rendahan. Drawsenclass.” Cole tiba-tiba datang dengan lagak angkuhnya.

“Yeah, kau benar. Hotel yang sederhana.” kata Darwin tenang.

Kedua teman Cole, Thom dan Jerry – sebenarnya mereka kembar. Nama lengkap mereka Jerry Thomas dan Jack Thomas. Jadi panggilan mereka Thom dan Jerry – sedikit terkekeh. Kedua anak kembar idiot ini sama dan hampir mirip dengan tokoh asli Tom dan Jerry. Terkadang mereka sering berbeda pendapat, terkadang mereka tak bisa akur, tapi mereka juga takut pada Cole. Entah kenapa.

“Hey Cole! Aku dengar kau berteman dengan Tom dan Jerry. Jika mereka kucing dan tikus, kau apanya? Anjingnya? Hhaha!” tawa Edgar meledak. Wajah pucat Cole mulai merona. Dia malu sekaligus marah diledek di depan banyak orang.

“Itu tidak lucu!” ucapnya sinis. Dia mendelik dan langsung mengajak Thom dan Jerry pergi. Edgar masih sedikit terkekeh dan menahan tawa melihat wajah putih Cole mendadak murka. Dia memang bisa dibilang cukup tampan dengan mata coklat dan rambut coklat kemerah-merahannya. Dia juga pandai. Hanya saja dia angkuh.

“Cole adalah anak pejabat. Rata-rata mereka angkuh.” ucap Edgar.

“Aku juga anak seorang guru. Kedua orangtuaku guru. Tapi aku tak angkuh.” ucap Elizabeth berlagak benar.

“Lihat dia, dia bilang dia tak angkuh? Dia memang selalu merasa paling benar.” ledek Edgar dengan berbisik ke arah Darwin. Elizabeth sedikit curiga dengan gerak-gerik Edgar. Dia yakin, Edgar pasti sedang menggunjingnya.

Cerpen Karangan: Selmi Fiqhi

Blog: https://selmifiqhi.blogspot.com/

Facebook: https://www.facebook.com/selmifiqhikhoiriah

Twitter: @SelmiFiqhi

Ini merupakan cerita pendek karangan Selmi Fiqhi, kamu dapat mengunjungi halaman khusus penulisnya di: Selmi Fiqhi untuk membaca cerpen cerpen terbaru buatan penulis yang telah di terbitkan di cerpenmu, jangan lupa juga untuk menandai Penulis cerpen Favoritmu di Cerpenmu.com!

Cerpen ini lolos moderasi pada: 21 September, 2013

0 komentar:

Posting Komentar