“Sial!” Umpat Ray ketika memasuki ruangannya.

“Kita sudah mengetatkan penjagaan, tapi dia masih berhasil menemukan titik lemah para penjaga dan melarikan diri” Jelas lelaki lain yang berjalan di belakang Ray.

Sekilas Ray mengernyit. Lalu menghentikan langkahnya, berbalik menatap lelaki itu. Garis-garis kelelahan terpancar jelas di wajahnya. “Lebih baik kau pulang dan beristirahat, Rian!”

Rian menatap atasannya itu dengan bingung. Istirahat dalam kondisi seperti ini?

“Kesehatan dan kebugaran tubuh sangat dibutuhkan saat ini, jangan sampai kau sakit karena kelelahan” Tambah Ray sambil menyandar pada tepian mejanya.

“Tapi bagaimana jika malam ini dia berhasil menghilangkan jejak? Keluar negeri, misalnya?”

Senyuman tipis terukir di bibir Ray. “Mungkin malam ini dia sedang sibuk menyamar atau mungkin dia sudah dalam perjalanan ke bandara… atau bisa jadi dia sudah di dalam pesawat”

Rian mendengar nada kekecewaan dari serangkaian kata yang dilontarkan Ray, tapi ia yakin atasannya itu tidak akan lari dari tanggung jawab dan akan segera menyelesaikan kasus ini. “Anda juga terlihat sangat lelah, Inspektur” Ucap Rian, mengingat begitu banyaknya tanggung jawab yang telah ditanggung Ray.

“Ya, kau benar! Kasus sialan ini sangat menguras tenaga dan otakku” Lelaki itu terkekeh pelan “Lebih baik kita sedikit beristirahat malam ini”

“Baik!” Rian sedikit menundukkan kepala lalu melangkah keluar.

Ray menghempaskan tubuh ke kursi kerjanya. Sejenak ia memutar kepala pelan untuk meregangkan otot-otot lehernya yang terasa sangat tegang. Entahlah, ia merasa seperti ada yang ganjal dari kasus ini. Seperti ada motif tersembunyi di dalamnya.

Perhatiannya kini beralih ke komputer kerjanya. Berusaha mencari informasi untuk membuktikan kebenaran yang sebenarnya. Setelah beberapa lama fokus dengan benda itu, ada satu berita yang menarik perhatiannya. Bahkan berita itu sudah sangat lama, sekitar 7 tahun yang lalu.

Refleks matanya melebar setelah membaca berita itu. Ternyata kecurigaannya selama ini benar, tapi ada satu fakta yang sangat mengejutkan lelaki itu. Fakta yang mengarah pada motif tersembunyi dari kasus ini. Dan, Ray tersadar …

“Ini sebuah jebakan!”

Lalu lelaki itu memundurkan tubuhnya sampai menempel pada sandaran kursi. Hembusan berat keluar dari bibirnya. Fakta yang barusan di ketahuinya membuat kasus ini semakin rumit. Ia harus segera menemukan cara untuk mengungkapkan semuanya.

Ray menengadah menatap lampu yang menempel di langit-langit ruangan. Mata tajamnya terus menatap lampu tersebut, berusaha memfokuskan pikiran pada satu titik pusat. Tapi sepasang mata itu perlahan terpejam, terlalu lelah untuk tetap bekerja.


Gadis itu memeluk dirinya sendiri, berharap bisa mendapat kehangatan. Ia meraih selembar foto dari saku belakang celananya. Foto seorang lelaki dengan setelan jas lengkap, senyuman lebar terukir di bibir tipisnya. Warna rambutnya tak lagi hitam keseluruhan, meski usia mencapai setengah abad tapi tak mengurangi ketampanan lelaki itu. Wajahnya yang tenang, membuat setiap orang tak pernah bosan untuk memandangnya.

“Semoga suatu hari nanti aku bisa tersenyum tulus sepertimu, Ayah”


“Kami sudah melakukan pengecekan ke bandara pagi ini tapi tidak ada yang mencurigakan, Inspektur” Lapor Rian

“Apa ada tanda-tanda dia masih di kota ini? Di negara ini?” tanya lelaki lain yang duduk di hadapan Ray

“Kami masih belum menemukan apapun” Jawab Rian lesu

“Dia benar-benar tidak bisa diremehkan!” Ray melipat kedua tangannya di atas dada

“Ya, aku salah selama ini karena menganggapnya enteng” Lelaki lain itu tertawa “Dan aku berani bertaruh, Inspektur kita ini pasti tidak tidur semalaman karena sibuk berpikir”

Ray tersenyum tipis “Dan kau termakan taruhanmu sendiri, Emil! Semalam aku tertidur di ruanganku”

“Benarkah? Apakah kasus pencurian ini membuatmu gila, Inspektur?” Pancing Emil, lalu lelaki itu meraih gelasnya dan meneguknya cepat.

“Bukan kasusnya yang membuatku gila, tapi pelakunya”

Emil tertawa mendengarnya. Ray dan Rian saling melempar pandangan, apa yang lucu?

“Mengapa kau tertawa?” Ray mengerutkan keningnya

Emil menyandarkan tubuhnya. “Aku mencium sesuatu yang tidak beres”

“Sesuatu yang tidak beres?” Rian mengulang perkataan Emil dengan nada yang berbeda

Tiba-tiba handphone Rian berdering, menandakan sebuah panggilan masuk. “Ya?…” Dan dalam hitungan detik lelaki itu langsung memutuskan sambungan teleponnya. Ia menatap Ray dan Emil bergantian. “Dia masih di kota ini!”

Tanpa sadar mata Ray melebar. Lalu lelaki itu tersenyum penuh kemenangan “Aku akan menangkapnya dengan tanganku sendiri!”


“Ku harap kau bisa menjaga dirimu, Laura” Ucap seseorang dari seberang

Laura memindahkan gagang telepon ke telinga kirinya. “Pasti. Kau tak perlu mengkhawatirkan aku”

“Maaf, karena menempatkanmu pada posisi ini”

“Kau tak perlu merasa bersalah, aku tidak keberatan sama sekali. Kau juga harus menjaga dirimu baik-baik” Laura dapat merasakan kegelisahan lawan bicaranya itu. Ia menarik napas dalam-dalam, lalu menghempaskannya perlahan. “Kau tak perlu khawatir, Kakak!” Ucapnya mengakhiri.

Setelah meletakkan gagang telepon, Laura melihat beberapa orang sedang mengantre di belakangnya. Rasa takut yang teramat besar menyelimutinya. Gadis itu memejamkan matanya sejenak, berusaha meyakinkan dirinya bahwa semua akan baik-baik saja.

Setelah mengumpulkan keyakinan, Laura membetulkan letak kacamatanya, menaikkan resleting jaket tebalnya dan sedikit merapikan rambutnya yang telah dipotongnya semalam. Tanpa berpikir lagi, ia melangkah menjauhi telepon umum itu.

Buronan? Siapa yang menyangka dirinya akan menjadi buronan seperti ini? Laura telah bertekad atas nama Ayah dan keluarganya, walaupun ia tahu Almarhum Ayahnya pasti sangat tidak menyukai perbuatannya ini. Tapi semua telah terlanjur, Laura telah melakukannya dan sekarang ia harus menanggung akibatnya.

Ia terus berjalan menelusuri jalanan dengan penyamaran seadanya. Beberapa kali ia menoleh ke belakang, meyakinkan bahwa tidak ada yang membuntutinya.

“Nona, kau tak ingin membeli surat kabar hari ini?” Seorang lelaki tua menawarkan jualannya pada Laura. “Berita terpanas hari ini, seorang buronan polisi berhasil melarikan diri. Anda harus membaca dan mengenali wajah buronan itu, jika suatu saat anda melihatnya anda bisa segera melapor”

Laura meraih surat kabar itu. Dan yang benar saja, foto buronan itu terpampang sangat besar dan jelas di halaman pertama, dengan judul berita yang tak kalah besarnya. Gadis itu mendengus. Bagus! Dalam semalam wartawan-wartawan tak tahu diri itu telah mengetahui aksi kaburnya. Dan ini berarti semua orang telah mengetahui wajahnya. Ia harus lebih berhati-hati.

“Aku sudah menghafal wajah buronan itu, terima kasih!” Laura mengembalikan surat kabar itu, lalu melanjutkan langkahnya.

Beberapa pikiran memenuhi otak Laura. Ia harus keluar dari negara ini. Kalau perlu, ia harus keluar dari benua ini. Laura membulatkan keinginannya dan berniat untuk memberitahukan rencana itu ke Kakaknya. Sebelum semua terlambat.

Tapi ia harus tetap bersikap normal. Jangan sampai ada yang mencurigai ataupun mengenalinya. Dengan langkah tenang, Laura terus berjalan. Tapi ketenangan itu tak berlangsung lama sampai beberapa menit kemudian terdengar sirine mobil polisi.

Gawat!!


Di dalam mobil, tak henti-hentinya Ray melihat jendela. Matanya menelusuri setiap jalanan yang dilewatinya.

“Apa yang akan kau lakukan jika menemukannya?” Tanya Emil memecahkan keheningan.

“Aku akan memberinya peringatan agar tidak melarikan diri lagi” Ray meyipitkan matanya, berusaha mencari buronan itu di antara kerumunan.

“Peringatan? Sebuah tembakan?”

“Entahlah, mungkin”

“Kau yakin? Dia seorang perempuan, Ray” Balas Emil mengingatkan

Ray mengalihkan pandangannya ke lelaki di sebelahnya itu. “Lalu kenapa? Aku tidak akan pandang bulu”

“Aku tahu, tapi apakah kau tega menembak seorang perempuan?”

“Dia sudah mempermainkan kita semua, dan secara pribadi aku merasa harga diriku sebagai polisi telah dilecehkan” Ray menatap Emil tajam

“Baiklah, tapi aku tidak yakin kau akan melukainya.” Emil mengalihkan pandangan menghadap jendela.

Ray hanya diam. Matanya masih menatap Emil, meskipun lelaki itu kini setengah membelakanginya. Apakah yang dikatakan Emil benar? Jauh dalam dirinya sama sekali tidak ada keinginan untuk melukai perempuan manapun, apalagi menembaknya.

Tidak! Dia pengecualian. Gadis itu telah mempermainkannya dan secara tidak langsung juga merendahkannya. ‘Lihat saja nanti’ Batin Ray

“Jalanan ini sangat ramai, Inspektur, mungkin kita bisa berhenti di sini” Ucap polisi yang duduk di bangku kemudi

“Ya, kita berhenti di sini!” Jawab Ray. Tanpa diminta lelaki itu langsung keluar mobil ketika mobil yang ditumpangi berhenti.

Ray berdiri di antara beberapa mobil polisi lainnya. “Cepat berpencar! Temukan dia!” Teriaknya.

“Emil, kau ikut denganku!” Tambah Ray

“Baik!”

Mereka berlari menembus keramaian. Beberapa orang tampak ketakutan dan menjauh. Beberapa ada juga yang tak menghiraukan. Bahkan ada juga yang mengabadikan kejadian ini dengan kamera.

“Pak polisi, saya tau kemana buronan itu” Ucap seorang lelaki tua

Mereka menghentikan langkah. Ray menatap lelaki tua itu, satu dugaan langsung terlintas di otaknya. Lelaki itu penjual koran.

“Dia tadi sempat memegang salah satu koran yang saya jual, dia menyamar dengan memakai kacamata dan jaket tebal berwarna cokelat tua. Serta dia memotong rambutnya sependek ini” Jelas lelaki tua itu sambil menggerakan tangannya di bawah telinga, untuk menjelaskan potongan rambut buronan itu.

“Ke arah mana dia sekarang?”

“Dia ke arah barat”

“Terimakasih”

Mereka langsung berlari ke arah yang ditujukan lelaki tua tadi. Tapi setelah lari beberapa meter, langkah mereka terhenti. Menyadari tempat apa yang ada di depannya saat ini.

“Kau yakin lelaki penjual koran itu tidak berbohong?” Emil menatap Ray ragu

“Entahlah, tapi sepertinya dia berkata jujur. Aku menatap matanya cukup lama saat dia menjelaskan” Ray mengedarkan pandangan.

“Tapi ini makam, Ray! Lebih baik kita kembali”

Ray berjalan tanpa menghiraukan Emil. Memasuki area pemakaman itu. Untuk kesekian kalinya lelaki itu mengedarkan pandangan. Dan matanya menangkap bayangan itu!

Gadis itu ada di sana!


Laura mempercepat langkahnya. Hanya satu tempat yang terbesit di pikirannya.

Di sinilah ia sekarang. Makam ayahnya. Laura terduduk di samping gundukan tanah dengan sebuah batu di salah satu ujungnya. Di batu itu tertuliskan sebuah nama. Herman Hernandez.

“Maafkan aku, Ayah! Aku tahu ini semua salah” Tangis gadis itu. Tangannya mengusap lembut batu nisan ayahnya. “Aku hanya ingin membalas perbuatan pengusaha China itu. Gara-gara dia, hidup kita berantakan. Dia juga yang menyebabkan kematianmu, Ayah! Kuharap kau mengerti dan memaklumi perbuatan tidak terpujiku…..”

“Kau harus menyerah, Laura Hernandez!!”

Laura terlonjak kaget mendengarnya. Spontan, ia menoleh ke belakang. Seorang polisi sedang mengarahkan pistol ke arahnya.

“Kau harus menyerah!” Ulang Ray sambil melangkah mendekat

“Stop! Diam disitu!” Teriak Laura sambil menutup kedua telinganya. “Kumohon, jangan menembakku” Tangisnya

“Kau tidak seharusnya melarikan diri, Laura! Kau telah bermain-main denganku dan kau akan menyesalinya!” Ray tetap mendekati Laura dan semakin mengarahkan pistolnya ke gadis itu.

“Tidak akan kubiarkan kau menembaknya!” Teriak seseorang dari belakang

Ray tersenyum getir. “Kau benar-benar pengkhianat Emilio Hernandez!” Ucapnya tanpa berbalik

“Kau sudah mengetahui nama lengkapku ya, Inspektur? Ternyata kau sudah mencurigaiku dari awal” Emil berdiri tepat di belakang Ray, lalu menempelkan ujung pistolnya ke kepala Inspekturnya itu.

“Tentu saja aku tidak sebodoh yang kau kira, kau pikir bagaimana caranya adik perempuanmu ini bisa kabur tanpa ada campur tangan darimu? Kau yang membantunya melarikan diri” Jawab Ray tenang

“Kau sungguh berhasil menyembunyikan ketakutanmu, Ray! Ingat, aku bisa kapan saja membuat kepalamu hancur!” Ancam Emil sambil menekankan pistolnya ke rambut Ray

“Dan kau juga harus ingat, aku bisa kapan saja menembak adik perempuanmu ini”

“Cukup! Jangan membunuh orang di depan makam Ayah, Kakak” Ucap Laura yang sedari tadi hanya diam

“Biarkan Laura! Inspektur ini tidak mengetahui betapa menderitanya kita selama ini” Emil tersenyum licik. “Apakah kau tau rasanya menderita, Inspektur? Apakah kau tau rasanya?!” Teriak lelaki itu

“Benar, aku memang tidak mengetahui rasanya. Tapi seberapa besar aku menderita, aku tidak akan pernah mengorbankan adikku sendiri!” Balas Ray dengan nada merendahkan

“A..apa maksudmu?” Laura mengerutkan keningnya “Kakakku tidak pernah mengorbankan siapa pun. Aku mencuri brankas pengusaha China itu karena dia telah menghancurkan perusahaan keluargaku!”

“Ya, aku tahu itu. Tuan Chen telah menipu keluarga kalian habis-habisan. Bahkan kukira kalian akan berencana membunuhnya, tapi ternyata kalian hanya mencuri hartanya” Lagi-lagi nada merendahkan keluar dari bibir Ray

“Aku juga ingin membunuhnya, tapi… aku tak mempunyai cukup keberanian untuk melakukan itu” Laura tertunduk, merasa sangat lemah.

“Tentu saja kau tidak mempunyai nyali untuk itu, tapi kenapa tidak Kakakmu saja yang melakukannya?” Kali ini senyuman merendahkan yang terukir di bibir Ray

“Oh, ternyata kau mencoba mengadu domba kami? Kau pikir adikku terpengaruh olehmu?” Emil semakin menekankan pistolnya, hingga menyentuh kulit kepala Ray. “Kau akan mati di tanganku!”

Dengan cekatan Ray menarik tangan Emil dan diputarnya tangan itu ke belakang. Tampak wajah Emil yang meringis kesakitan, sehingga pistol di tangannya terjatuh. Kali ini posisi telah berbalik. Ray berdiri di belakang Emil dengan menahan kedua tangan lelaki itu.

Laura hanya bisa memekik saat melihat adegan itu. Sekarang nyawa Kakaknya yang terancam!

“Kau yang akan mati di tanganku!” Bisik Ray tepat di telinga Emil

Emil berusaha memberontak tapi usahanya sia-sia, Ray menahan tangannya sangat kuat. “Lepaskan aku!”

Tanpa menggubris Emil, Ray mengeluarkan borgol dan memborgol kedua tangan lelaki itu di belakang tubuhnya. Lalu didorong tubuh Emil sampai terduduk di hadapan Laura. Ray mengambil pistol Emil yang tergeletak di

tanah. “Kau tidak lebih dari seorang pengecut! Kau rela mengorbankan adikmu hanya karena keegoisanmu!!”

“Kau tahu banyak tentang aku, ya?” Emil tersenyum kecut

Ray mengarahkan pistolnya ke kepala Emil. “Ya! Dan aku juga mengetahui bahwa tujuanmu sebenarnya bukanlah Tuan Chen!”

Laura menatap dua lelaki itu dengan bingung. “Apa maksudmu? Jelas kami ingin membalas dendam ke pengusaha China itu”

“Kau terlalu bodoh, Laura!”

Laura terkejut. Emil mengatai dirinya bodoh?

“Dia membalas dendam kepada keluargamu, Laura. Dia membalas dendam kepada keluarga Hernandez karena telah mencampakkannya” Ray melirik Laura sekilas

“Mencampakkannya? Apa maksudmu? Jangan memfitnah kakakku!”

“Dia benar Laura, sebenarnya namaku sudah dicoret dari daftar keluarga” Senyuman kecut masih menghiasi bibir Emil “Karena aku telah membunuh Kakek”

Mata Laura melebar. Tubuhnya menegang dan jantungnya berdetak kencang. Ini kenyataan baru baginya.

“Saat itu kau masih sekolah di luar negeri, karena itu kau tidak mengetahui apapun.” Emil menatap Laura tajam “Dan ketika kau kembali, aku sudah pindah ke kota lain”

“Kau membunuh kakek? Tapi apa salah kakek?” Air mata mengalir deras di pipi Laura. Masih sulit baginya menerima kenyataan ini.

Emil mendecak pelan. “Kau sungguh bodoh! Asal kau tahu, Kakek mewariskan perusahaannya kepadamu, bukan kepadaku! Bukankah itu hal yang sangat tidak adil? Padahal aku adalah cucu laki-lakinya!” Ia tertawa ringan “Dan perlu kau tahu, aku yang merencanakan semuanya dari awal. Termasuk penipuan pengusaha China itu. Aku sengaja membuat keluargamu menderita!” Emil berhenti sejenak “Ah ya, kau juga harus tahu kalau aku yang membunuh Ayah karena ia akan menceritakan semuanya kepadamu, ia tidak suka melihat kedekatan kita. Tapi ternyata tak kusangka otakmu sangat gampang dicuci”

“Kau membunuh semuanya?” Laura merasakan tubuhnya gemetaran. Ia sama sekali tidak mengenal lelaki di depannya itu. Lelaki itu bukan Emil, kakak yang sangat menyayanginya.

Kabut kebencian terlihat jelas di mata Emil. “Ya! Tapi kematian Ibu di luar kehendakku, Ibu meninggal sebelum aku membunuhnya” Lelaki itu semakin menajamkan tatapannya kepada Laura “Dan aku berencana membuatmu mati mendekam di dalam penjara!”

“Dan satu hal lagi, alasan pengecut ini menjadi polisi adalah untuk mengamankan dirinya sendiri, sehingga tidak akan ada yang mencurigainya” Ray menatap Emil jijik

Laura sangat tidak mempercayainya. Ternyata selama ini ia dijebak. Dan dengan senang hati ia masuk kejebakan Emil. “Kau benar-benar bukan manusia!” Teriak Laura

“Sekarang siapa yang tidak memiliki hati nurani, Emil?”

“Berhenti merendahkanku, Ray! Kau menghancurkan rencanaku! Tidak akan kubiarkan kau hidup tenang!” Emil memberontak dan berteriak ke arah Ray

“Sebelum kau melakukannya, aku yang akan membuatmu menderita terlebih dulu” Ray tersenyum sinis

“Aku tahu kau ingin melindungi Laura dariku” Emil melirik Laura yang masih terisak-isak. “Karena kau mencintai adikku yang bodoh ini kan?!”

Ray menembakkan pistolnya ke udara. “Aku tidak akan membuatmu mati dengan mudah” Ucapnya

Tak lama segerombolan polisi datang berlarian. Para polisi itu langsung mendekati mereka. Sontak para polisi itu terkejut melihat apa yang ada di hadapannya.

“Inspektur, ada apa ini?” Tanya Rian yang berdiri di antara gerombolan polisi itu

“Bawa dia! Biarkan dia yang menjelaskan sendiri!” Jawab Ray.

Para polisi itu langsung menggiring Emil, meskipun beribu pertanyaan masih memenuhi benak mereka masing-masing.

“Kau baik-baik saja, Laura?” Ray berjalan mendekati Laura.

Laura masih terduduk. Semua ini tidak masuk akal baginya. Air mata masih belum berhenti mengalir di pipi gadis itu.

Ray menekuk kedua lututnya, berusaha menyamai gadis di sampingnya. “Kau tak perlu takut, aku selalu di pihakmu” Ia menyentuh lembut bahu Laura

Gadis itu mengangkat kepalanya, menatap Ray ragu. “Kau yakin?”

Ray mengangguk mantap tanpa mengeluarkan suara. Dan dalam detik yang sama, lengannya merengkuh tubuh Laura. Menenggelamkan tubuh gadis itu dalam pelukannya. “Sangat yakin, Laura”

Cerpen Karangan: Ifarifah

Blog: www.ifarifah.blogspot.com

Ini merupakan cerita pendek karangan Ifarifah, kamu dapat mengunjungi halaman khusus penulisnya di: Ifarifah untuk membaca cerpen cerpen terbaru buatan penulis yang telah di terbitkan di cerpenmu, jangan lupa juga untuk menandai Penulis cerpen Favoritmu di Cerpenmu.com!

Cerpen ini lolos moderasi pada: 25 September, 2013

0 komentar:

Posting Komentar