Naples, Italia. Tempat paling pas untuk ngopi sepulang kerja. Ditambah pemandangan kota yang perlahan menelan senja tepat di depan mata. Keindahan yang tak dapat diucapkan dengan kata-kata.

Setelah pulang dari kantorku, aku terbiasa mampir ke kedai kopi kecil di pinggir pantai ditemani 2 gelas coklat panas dan, terkadang, seekor camar manja yang meronta menginginkanku berbagi biskuit lezat seharga 7 Euro (bayangkan dalam Rupiah, mahalnya bukan main!). Yang dapat kulihat bukan hanya panorama Laut Tiberia berbatas cakrawala ungu tua, tapi juga panorama kedamaian yang hanya bisa dideskripsikan oleh mata jiwa.

Sore ini lebih dingin daripada biasanya. Musim dingin sebentar lagi tiba dan kedai kopi akan sangat padat beberapa bulan ke depan. Ketika aku masuk ke kedai kopi yang sama dengan kedai kopi yang sudah aku kunjungi seminggu terakhir ini, aku hanya melihat dua kursi kosong: satu berada di meja kayu panjang yang memang biasa ada di kedai-kedai kopi dan yang satu sudah ditempati seseorang yang, ehm, secara harfiah membutuhkan jatah 2 kursi orang normal (baca: gemuk). Tentu aku memilih kursi di meja kayu panjang. Aku tidak ingin menyakiti hati wanita gemuk tadi karena harus memintanya berbagi jatah kursi dan tidak ingin menyakiti badanku karena harus memaksa duduk di sana.

Seperti biasa, aku memesan dua cangkir coklat panas. Saat kulilitkan ke leherku dengan selembar halsduk biru tua pemberian istriku nun jauh di Indonesia sana, aku mendengar dua orang pria yang duduk di sebelahku memesan kopi hitam panas: lima cangkir! Tapi ada yang janggal pada saat mereka memesan kepada pelayan.

“Lima cangkir kopi, dua untuk kami, dan tiga lagi pending.”

Si pelayan yang berumur 50 tahunan itu—dengan kesigapan mendekati seorang tentara—langsung membuat dua cangkir kopi hitam panas dan menyodorkannya dengan ramah kepada dua orang tadi.

Kopi pending? Sudah 5 tahun aku merantau, bekerja keliling seluruh Eropa, bahkan dunia, mampir ke kedai kopi di hampir seluruh penjuru benua, tapi belum pernah aku mendengar kata ‘kopi pending’. Terdorong rasa penasaran yang kuat, aku bertanya kepada pria yang memakai jas coklat muda.

“Maksudnya kopi pending?”

“Lihat saja nanti.” alih-alih si pria berjas coklat muda tadi merespon pertanyaanku, pria berjas hitam di sebelahnya yang menjawab. Si jas coklat hanya menyenggolkan sebuah senyuman yang sedikit terlalu lebar. Lalu, dua pria itu lalu menyeruput kopi dengan nada yang sinkron, terlalu sinkron bagiku bahkan.

Setengah jam berlalu, kedua cangkir coklatku sudah habis. Aku hanya menunggu ‘lihat saja nanti’ yang dijanjikan oleh pria tadi. Akhirnya, dua pria itu berdiri, membayar kelima kopi yang dipesannya; termasuk tiga kopi yang masih dia pending.

Lalu, keluar dari kedai.

Terdorong kembali oleh rasa penasaran yang semakin tinggi, aku menahan bahu si jas hitam dan kembali bertanya. “Jadi kopi pending itu?”

“Lihat saja nanti.” sekarang pria berjas coklat muda yang membalas pertanyaanku. Si pria berjas hitam hanya mengibaskan senyuman.

Satu setengah jam sudah kuhabiskan untuk menunggu kopi pending itu. Karena bosan, akhirnya aku keluar dari kedai itu menuju rumah dinasku beberapa ratus meter dari kedai ini.

Keesokan harinya, hampir tepat 24 jam setelah dua pria kemarin membeli tiga cangkir kopi pending, aku kembali menunggu apa yang akan terjadi dengan kopi itu. Sekarang, aku duduk di sebelah dua gadis yang sepertinya baru pulang dari kuliah: yang satu memiliki muka yang manis, sedangkan temannya, well, tidak terlalu. Mereka memesan dua cangkir cappuccino panas. Tak kudengar kata ‘pending’ dari bibir mereka. Hari ini tak lagi kudengar kata ‘pending’ dari mulut semua orang yang memesan minuman di sini.

Tapi rasa penasaran menyebalkan ini masih menyelimuti pikiranku.

Setengah jam kusediakan untuk menunggu kopi pending kemarin. Tapi tidak ada juga tanda-tanda yang berhubungan dengan kopi pending tersebut.

Esoknya, esoknya, dan esoknya lagi, aku ulang rutinitas temporal ini: menunggu setengah jam setelah dua cangkir coklat panasku habis hanya untuk melihat apa yang terjadi dengan kopi pending itu. Jika ada orang yang duduk di sebelahku, tanpa tahu malu, langsung kutanya dengan pertanyaan yang sama dengan yang kutanyakan kepada si pria-kopi-pending- beberapa hari lalu.

Setiap orang yang kutanya menjawab dengan kata-kata yang sama persis dengan si pria-kopi-pending: seorang pengacara amatir yang baru menyelesaikan satu kasus, seorang pria yang baru diusir dari rumah karena dituduh selingkuh oleh istrinya, bahkan pemilik kedai kopi sebelah yang ingin mencicipi dan menyakinkan pegawainya bahwa kopi kedai mereka lebih nikmat dari kedai ini.

“Lihat saja nanti.” ucap setiap orang.

Lima hari sudah kulewati menunggu nasib kopi pending. Ini hari keenam dan kuputuskan untuk menjadi hari terakhirku menanti si kopi pending ini.

Ah! Kenapa tidak kutanyakan saja kepada pelayan di sini?

Bergegas aku bertanya kepada pelayan berseragam biru muda dan bercelemek putih yang sedikit kumal jika dilihat dari dekat. “Maksudnya kopi pending itu apa?”

Dengan sedikit senggolan senyum jahil di bibirnya, wanita itu membalas pertanyaanku. “Lihat saja nanti.”

Aku mulai curiga bahwa sebenarnya mereka menjahiliku karena mukaku memang, tak bisa dipungkiri, bukan muka asli daerah ini. Jadi, siapapun akan tahu bahwa aku memang bukan orang Italia. Mungkin ada tradisi di seluruh kedai di kota ini untuk menjahili setiap orang yang terlihat asing atau… entah aku tidak mengerti.

Setelah kembali menunggu setengah jam yang membosankan dan tetap tidak ada tanda-tanda dari kopi pending itu, rasa kesalku sekarang yang mengepul di kepala. Namun, rasa penasaranku kembali datang ketika seorang tua di sebelah kananku memesan 2 cangkir kopi pending (akhirnya). Kembali, tanpa tahu malu, aku kembali bertanya.

“Sebenarnya, apa sih kopi pending itu?”

Sudah kuduga, reaksi yang diberikan oleh orang itu sama saja.

“Lihat saja nanti.”

Sepertinya asumsiku memang benar. Semua orang di sini menjahiliku. Tujuh orang, bung! Tujuh orang menjawab ‘lihat saja nanti’! Kuminum coklat panasku cepat-cepat dan cepat-cepat pula aku taruh uangku di atas meja (sedikit kugebrak mejanya karena aku kesal). Tepat saat aku membalikkan badan ingin pulang ke rumah dinasku, seorang tua berbadan lusuh, berbau sampah plus daging busuk, berbaju compang-camping, berdiri di sampingku. Seluruh tubuhnya gemetar seperti dapat rubuh kapan saja.

“Adakah secangkir kopi pending di kedai ini?” seorang pengemis menghampiri si pelayan.

Pelayan tadi lalu membuat secangkir kopi hitam panas dan memberikannya kepada pengemis yang baru saja masuk. Dia meminum habis kopi panas yang uapnya masih terlihat jelas itu. Sedikit menyeramkan membayangkan kuatnya lidah dan kerongkongan orang itu.

“Terjawab?” si pelayan menyondongkan badannya sambil memangku tangan di atas meja. Senyuman jahil kembali terlukis di muka bulatnya. Ada kepuasan tersendiri yang tersirat di gestur wajahnya.

“Selamat datang di Naples, Nak. Kota para dermawan.” Orang tua di sebelahku tadi menggeleng-gelengkan kepalanya sembari menepuk pundakku yang sudah berbalik menghadap pintu.

Hening berkelibat dan membanjur seluruh tubuhku. Aku tidak berpikir bahwa kemuliaan bisa datang dari secangkir kopi hitam panas. Aku tidak mengira bahwa kebahagiaan bisa dibagikan di kedai-kedai kecil di pinggiran pantai. Aku tidak berpikir bahwa ‘lihat saja nanti’ yang mereka janjikan akan terjawab seperti ini, bahkan membumbung tinggi di atas ekspektasiku (ekspektasiku, orang-orang yang memesan kopi pending akan datang kembali dan mengambilnya di lain hari). Dengan refleks, kubalikkan kembali badanku, dan berdiri dengan tampang serius-agak-kaget dan mata tajam sedikit melotot seperti seorang pemburu yang baru melihat seekor rusa whitetail besar lewat di depan matanya.

“Aku pesan 10 cangkir kopi pending.”

Cerpen Karangan: Finlan Adhitya Aldan

Blog: finlanadhitya.blogspot.com

Ini merupakan cerita pendek karangan Finlan Adhitya Aldan, kamu dapat mengunjungi halaman khusus penulisnya di: Finlan Adhitya Aldan untuk membaca cerpen cerpen terbaru buatan penulis yang telah di terbitkan di cerpenmu, jangan lupa juga untuk menandai Penulis cerpen Favoritmu di Cerpenmu.com!

Cerpen ini lolos moderasi pada: 3 September, 2013

Panasnya mentari tak menyurutkan niat wanita berbaju abu-abu itu. Aku selalu melihat ia berdiri di samping tiang lampu merah. Tepatnya di perempatan jalan yang ada di samping masjid besar. Saat aku sedang istirahat usai sholat, aku selalu mengamati setiap geraknya.

Dengan topi yang kusam menempel di atas kepalanya. Sebuah bungkus jajan ciki-ciki ada di gengangan tangan kanannya. Ia buta. Ia tak bisa melihat setiap pengendara yang berhenti di dekatnya. Ia hanya berusaha untuk menyodorkan tangan kanannya, dengan membawa bungkus ciki-ciki tersebut. Ia berharap, orang-orang yang sedang berhenti saat menunggu lampu berubah berwarna hijau, memberikan sedikit uang receh untuknya.

Sesekali, ia berjalan mundur untuk beristirahat sejenak. Ia duduk pada trotoar di tepi jalan. Ia teguk air minum dalam botol yang ia bawa dari rumah. Wajahnya hitam kusam terkena sengatan matahari. Keringat mengalir dari dahi dan lehernya. Terkadang ia mengipas-ngipaskan topi yang ia pakai untuk memberikan udara yang sejuk di badannya yang kepanasan dan berkeringat.


Usai pulang dari kuliah, aku menyempatkan untuk sholat dzuhur di masjid besar. Perjalanan untuk sampai ke rumah masih cukup jauh. Aku sering mampir ke masjid besar untuk sholat. Kadang, aku hanya beristirahat saja. Untuk menghilangkan rasa lelah saat mengendarai sepeda motorku. Pantatku terasa panas jika berlama-lama duduk di atas sepeda motor.

Air wudhu yang membasahi wajahku, terasa segar. Udara yang tadinya panas. Kini berubah menjadi sejuk. Saat aku memasuki masjid, semilir angin menerpa wajahku yang basah akan air wudhu. Kesejukan yang begitu nikmat. Angin semilir menembus serat-serat baju, hingga aku merasakan dinginnya angin yang semilir. Sungguh kenikmatan yang sangat luar biasa yang Allah berikan.

Usai sholat, aku duduk di serambi depan masjid. Aku tersenyum melihat wanita bertopi itu. Ia sangat semangat. Berdiri di samping tiang lampu lalu lintas. Setiap orang yang berhenti di lampu merah mengulurkan tangannya memberikan uang. “Sungguh.., Engkau telah mendatangkan tangan-tangan malaikat untuk membantu wanita itu, Ya Allah” Kataku saat mengamati banyak orang yang mengulurkan tangannya untuk memeberikan uang.

Bahkan, ada seorang istri yang di bonceng suaminya, menepuk bahu suaminya saat ia menjalankan motornya. Kemudian ia mengambil uang dari saku celananya. Dan memberikan uang pada wanita bertopi itu. Padahal lampu sudah berubah warna menjadi hijau. Dan orang yang berada di belakangnya juga tidak merasa terganggu saat mereka berhenti sejenak. “Ya Allah, berikanlah Wanita itu kekuatan. Berikanlah ia kesehatan yang baik. Dan mudahkanlah segala urusannya.” Pintaku Pada sang Khalik.

Hari ini, aku beristirahat kembali di masjid besar. Dan seperti biasanya, kulihat wanita bertopi itu berdiri di samping tiang lampu lalu lintas. Entah kenapa, aku melihat senyuman merekah dari bibirnya. Kemudian aku pun ikut tersenyum. ‘Apakah wanita bertopi itu melihat, bahwasanya aku tersenyum melihatnya?’ Tanyaku dalam hati.

Ada hal yang tidak biasa di hari ini. Banyak anak laki-laki dengan membawa tas duduk di serambi masjid. ‘Mungkin mereka sedang belajar kelompok’ tebakku. Salah satu anak mengeluarkan sebuah kamera dari dalam tasnya. “Kamu potret dari samping pintu gerbang saja!” Pinta temannya. “Ok..” Jawab anak itu dengan melingkarkan jari telunjuk dengan ibu jari tangannya.

Kemudian anak itu berjalan mendekati pintu gerbang masjid. Ternyata, anak laki-laki itu memotret wanita bertopi itu. Sesekali ia bersembunyi dari balik pagar saat ada pengendara yang melihatnya. Ketika ada pengendara yang memberinya uang, anak itu memotretnya. Kejadian itu pun berlangsung berulang-ulang.

Kemudian, aku mendekati temannya yang duduk di serambi masjid. “Apa yang kalian lakukan?” Tanyaku. “Mm.., kita sedang memotret wanita itu, Kak.” Jawabnya. “Untuk apa?” Tanyaku. “Untuk ikut lomba, Kak” tegasnya. “Do’akan kita menang ya, Kak!” Pintanya dengan tersenyum. “Pasti, Dik!” Jawabku.

Aku mulai berpikir, apa yang bisa aku lakukan untuk membantu wanita itu. “Ra..!” Finda mengagetkanku. “Finda, ngagetin saja.” Kataku yang agak kesal. “Kenapa melamun, Neng?” Tanyanya sambil menjail daguku. “Memikirkan bagaimana caranya aku bisa membahagiakan seseorang.” Kataku pelan dengan pandangan sedikit ke atas layaknya orang berkhayal. “Cie.., cie.., siapa, tuh?” ledek Finda. “Wanita bertopi yang sering aku lihat di lampu merah” Terangku.

“Wanita peminta-minta itu?” Tanyanya terkejut. “Untuk apa, Ra?” Tanya Finda. “Untuk membantunya, Fin” Jawabku. “Terus?” Tanyanya meminta penjelasan. “Adalah..” Kataku dengan senyum, dan alis yang sedikit aku naik-naikkan. Finda hanya tersenyum sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.

“Oh, iya. Bagaimana cerpennya?” Tanya Finda. “Insya Allah akan segera aku kirim. Tinggal mengedit saja.” Jawabku. “Sukses, ya Neng..!” Finda menepuk pundakku. Aku pun tersenyum. “Thanks ya..” Kataku. “Iya..” Jawabnya dengan tersenyum.

Hari ini, aku menyempatkan mampir ke masjid besar. Aku hanya ingin melepas lelah mengendarai sepeda motor. Usai aku memarkir sepedaku, aku langsung menuju tempat wudhu wanita. Aku basuh wajahku yang berminyak dan terasa panas, dan ada sesuatu yang memenuhi wajahku. Debu. Terik matahari membuat wajahku sangat rusuh. Air keran membuat wajahku terlihat cerah kembali. Segar sekali.

Aku lantas menuju serambi wanita. Aku duduk dan aku sandarkan punggungku pada dinding. Wajahku menelisik dan mendongak mencarai sosok wanita bertopi. Kemanakah ia?’ tanyaku dalam hati. Kenapa hari ini tak kulihat sosok wanita yang semangat dan kuat itu.


Aku berjalan mendekati wanita itu. Kuamati setiap gerak tubuhnya. Aku sebagai wanita yang diciptakan lebih sempurna darinya, sering menggerutu kepanasan. Hari ini aku merasakan, bagaimana sang surya melawan kekuatan kulitku. Aku duduk di trotoar. Dan masih mengamati wanita bertopi itu.

Tangannya kering, bibirnya pucat, kakinya busam, wajahnya basah penuh dengan keringat. Sesekali ia mengusapnya dengan tangan. Setiap angin bertiup menerpa topinya, ia segera mencengkeram kuat-kuat. Matanya terus tertutup dengan tangan kanan membawa bungkus jajan yang disodorkan kepada pengendara yang berhenti di lampu merah.

Semua orang mungkin menatapku heran. Duduk di trotor bersandingan dengan wanita bertopi. Dua sosok yang terlihat mencolok perbedaannya. Semua mata tertuju padaku. Aku sendiri tidak tahu, apakah yang ada dipikiran orang-orang saat melihatku.

Sesekali, ia berjalan dengan menggeser kakinya perlahan. Meskipun matanya tidak bisa melihat. Tapi, ia bisa merasakan dengan hati dan intuisinya yang tajam. Ada keinginan kecil dalam hatiku untuk bisa membuatnya tersenyum. Aku mencoba berpikir sambil mengamati wanita bertopi itu.

Hari ini, tak kulihat wanita bertopi itu berdiri di dekat lampu merah. Aku menunggunya sambil beristirahat di serambi masjid. ‘Kemana wanita itu?’ Tanyaku dalam hati. Aku seperti melihat keanehan dan keganjalan lampu merah itu, tanpa wanita bertopi yang sering aku lihat. Terasa hambar dan terlihat kosong.
‘Dimanakah wanita itu? Akankah ia datang di lain esok?’ Hatiku masih bertanya akan keberadaan wanita itu. Sosok yang begitu kuat. Dan senantiasa tersenyum dalam kecamuk penderitaan. Tapi baginya, jalan hidup harus ia jalani bagaimana pun medannya. Meskipun ia buta, tidak lantas menyurutkan niat dan semangatnya untuk tetap hidup di antara manusia yang lain yang lebih sempurna darinya.

Sudah beberapa minggu ini aku tak melihat wanita bertopi itu. Sungguh, perempatan itu terasa asing dan kurang sempurna tanpa kehadirannya. Hari ini aku membawa sebuah majalah. Cerpenku dimuat di majalah itu. Cerpen yang aku tulis tentang wanita itu. Ilustrasi yang dibuat oleh redaksi begitu tepat sasaran. Tepat seperti apa yang aku inginkan. Seperti potret wanita bertopi itu yang berdiri di dekat tiang lampu merah.

Tapi, dimana wanita itu? Aku ingin sekali memberikan honor cerpenku untuknya. Aku ingin ia duduk di sini menemaniku. Ingin sekali aku berbicara dengannya. Mencari semangat dalam hidupnya agar tumbuh dalam hatiku. Sosok yang mengingatkanku pada ibu yang sudah tiada. Aku ingin berbicara dengan wanita itu. Aku ingin kenangan bersama ibu itu muncul kembali.

“Ibu pergi meninggalkanku karena kecelakaan. Karena beliau buta. Ia tidak bisa melihat. Karena aku waktu itu pergi meninggalkannya sendiri. Aku telah lalai menjagaya.” Kataku sambil meraba ilustrasi yang ada di majalah itu. “Aku tak ingin wanita bertopi itu seperti ibu. Ia sangat kuat. Ia mempunyai hati yang bisa melihat. Aku ingin ia menemaniku berbicara, barang semenit saja.

Alangkah terkejutnya aku melihat berita yang di muat di koran lokal. Sebuah kecelakaan yang terjadi di perempatan jalan. Aku tahu persis tempat yang ada di koran tersebut. Usai membaca koran dari perpus, aku lantas datang menuju tempat kejadian.

Aku terasa lemas. Dadaku naik turun tak karuan. Aku duduk sejenak untuk mengatur nafasku yang tidak beraturan. ‘Aku benar-benar tidak percaya dengan apa yang diberitakan di koran itu. Wanita itu…, wanita yang menjadi berita di koran. Dia adalah wanita bertopi yang sering berdiri di dekat lampu merah’.

Aku terdiam duduk di trotoar. Aku benar-benar tidak percaya. Mataku kosong. Melihat jauh ke belakang akan sosok wanita bertopi yang sering ku lihat di perempatan lampu merah. Tiba-tiba, pandanganku jatuh pada sebuah topi yang pucat, tergeletak di tepi jalan. Aku pun mengambilnya.

Seketika air mataku menetes dari kedua mataku. Bayang-bayang wanita itu terus mengusikku. Perempatan itu begitu lekat dengannya. Ia selalu hadir di sana. Setia menanti pengendara sepeda motor dan mobil, demi secercah harapan. Bisa makan. Hidupnya ada di tangan para pengendara itu. Dari belas kasihannyalah ia bisa mendapatkan uang dan bisa makan untuk tetap mempertahankan hidupnya. Tapi, di tangan mereka pula lah, nyawanya melayang.

Aku meletakkan kembali topi itu di atas tanah. ‘Wanita itu telah tiada, tak ada lagi sosok wanita bertopi’ kataku dalam hati. Dari arah sampingku terdengar lantunan syair dari anak kecil (laki-laki). Ia berjalan melenggang di depanku, menghampiri para pengendara sepeda motor yang sedang menanti pergantian lampu lalu lintas. ‘Inikah sosok pengganti wanita itu?’ tanyaku dalam hati.

Setelah lampu merah itu berganti warna menjadi hijau, anak kecil itu lantas menepi di pinggir jalan. Kemudian ia duduk di sampingku. “Ini topi ibuku” kata anak itu. Pandanganku yang semula tertuju ke depan, langsung menoleh ke arah anak itu. “Ibu?! Wanita buta yang sering berdiri di perempatan ini?” tanyaku. Anak itu hanya menganggukkan kepalanya. Kemudian ia menutup kedua matanya dengan telapak tangannya. Ia menangis.

Aku pun menenangkan anak itu agar tidak menangis. “Kamu tidak boleh menangis. Apa kamu pernah melihat ibu menangis untukmu?” tanyaku. Ia pun membalasnya dengan menggelengkan kepalanya. “Lantas, kenapa kamu menangis untuk ibumu yang sedang bahagia di tempat peristirahatnnya?” tanyaku yang menahan tangis, sakit dan mengganjal di tenggorokan. Miris melihat anak itu.

Wajahnya polos, rambutnya tipis, memerah terkena sengatan matahari. Kulitnya hitam dan kering, mengharuskan ia menapaki panasnya aspal jalan tanpa sebuah sandal. Aku pun memakaikan topi itu (topi ibunya) di atas kepalanya. Aku pun tak kuasa menahan tangisku yang tiba-tiba pecah. Aku memeluknya erat dalam dekapanku.

“Jangan pernah menangis untuk ibumu. Tersenyumlah, dan Gapailah cita-citamu. Buatlah ibumu tersenyum melihatmu bahagia.” Kataku, menyemangatinya. Aku tak ingin ia seperti ibunya. “Kamu sudah makan?” tanyaku. Ia membalasnya dengan menggelengkan kepalanya, dengan topi yang kebesaran, sedikit longgar dipakainya. “Makanlah..!, ini untuk kamu” aku pun tersenyum padanya, dan meninggalkan ia.

‘Semoga hidupnya tak seperti apa yang dialami oleh ibunya. Ia harus bahagia. Ia harus bisa membuat ibunya tersenyum. Meski pun ia telah tiada. Kini, wanita bertopi itu telah tiada, yang ada hanya anak laki-laki kecil yang senantiasa berdiri di perempatan jalan. Menggantikan sosok ibunya’.

Selesai

Cerpen Karangan: Choirul Imroatin

Facebook: Choirul Imroatin

Ini merupakan cerita pendek karangan Choirul Imroatin, kamu dapat mengunjungi halaman khusus penulisnya di: Choirul Imroatin untuk membaca cerpen cerpen terbaru buatan penulis yang telah di terbitkan di cerpenmu, jangan lupa juga untuk menandai Penulis cerpen Favoritmu di Cerpenmu.com!

Cerpen ini lolos moderasi pada: 14 September, 2013

Panasnya mentari tak menyurutkan niat wanita berbaju abu-abu itu. Aku selalu melihat ia berdiri di samping tiang lampu merah. Tepatnya di perempatan jalan yang ada di samping masjid besar. Saat aku sedang istirahat usai sholat, aku selalu mengamati setiap geraknya.

Dengan topi yang kusam menempel di atas kepalanya. Sebuah bungkus jajan ciki-ciki ada di gengangan tangan kanannya. Ia buta. Ia tak bisa melihat setiap pengendara yang berhenti di dekatnya. Ia hanya berusaha untuk menyodorkan tangan kanannya, dengan membawa bungkus ciki-ciki tersebut. Ia berharap, orang-orang yang sedang berhenti saat menunggu lampu berubah berwarna hijau, memberikan sedikit uang receh untuknya.

Sesekali, ia berjalan mundur untuk beristirahat sejenak. Ia duduk pada trotoar di tepi jalan. Ia teguk air minum dalam botol yang ia bawa dari rumah. Wajahnya hitam kusam terkena sengatan matahari. Keringat mengalir dari dahi dan lehernya. Terkadang ia mengipas-ngipaskan topi yang ia pakai untuk memberikan udara yang sejuk di badannya yang kepanasan dan berkeringat.


Usai pulang dari kuliah, aku menyempatkan untuk sholat dzuhur di masjid besar. Perjalanan untuk sampai ke rumah masih cukup jauh. Aku sering mampir ke masjid besar untuk sholat. Kadang, aku hanya beristirahat saja. Untuk menghilangkan rasa lelah saat mengendarai sepeda motorku. Pantatku terasa panas jika berlama-lama duduk di atas sepeda motor.

Air wudhu yang membasahi wajahku, terasa segar. Udara yang tadinya panas. Kini berubah menjadi sejuk. Saat aku memasuki masjid, semilir angin menerpa wajahku yang basah akan air wudhu. Kesejukan yang begitu nikmat. Angin semilir menembus serat-serat baju, hingga aku merasakan dinginnya angin yang semilir. Sungguh kenikmatan yang sangat luar biasa yang Allah berikan.

Usai sholat, aku duduk di serambi depan masjid. Aku tersenyum melihat wanita bertopi itu. Ia sangat semangat. Berdiri di samping tiang lampu lalu lintas. Setiap orang yang berhenti di lampu merah mengulurkan tangannya memberikan uang. “Sungguh.., Engkau telah mendatangkan tangan-tangan malaikat untuk membantu wanita itu, Ya Allah” Kataku saat mengamati banyak orang yang mengulurkan tangannya untuk memeberikan uang.

Bahkan, ada seorang istri yang di bonceng suaminya, menepuk bahu suaminya saat ia menjalankan motornya. Kemudian ia mengambil uang dari saku celananya. Dan memberikan uang pada wanita bertopi itu. Padahal lampu sudah berubah warna menjadi hijau. Dan orang yang berada di belakangnya juga tidak merasa terganggu saat mereka berhenti sejenak. “Ya Allah, berikanlah Wanita itu kekuatan. Berikanlah ia kesehatan yang baik. Dan mudahkanlah segala urusannya.” Pintaku Pada sang Khalik.

Hari ini, aku beristirahat kembali di masjid besar. Dan seperti biasanya, kulihat wanita bertopi itu berdiri di samping tiang lampu lalu lintas. Entah kenapa, aku melihat senyuman merekah dari bibirnya. Kemudian aku pun ikut tersenyum. ‘Apakah wanita bertopi itu melihat, bahwasanya aku tersenyum melihatnya?’ Tanyaku dalam hati.

Ada hal yang tidak biasa di hari ini. Banyak anak laki-laki dengan membawa tas duduk di serambi masjid. ‘Mungkin mereka sedang belajar kelompok’ tebakku. Salah satu anak mengeluarkan sebuah kamera dari dalam tasnya. “Kamu potret dari samping pintu gerbang saja!” Pinta temannya. “Ok..” Jawab anak itu dengan melingkarkan jari telunjuk dengan ibu jari tangannya.

Kemudian anak itu berjalan mendekati pintu gerbang masjid. Ternyata, anak laki-laki itu memotret wanita bertopi itu. Sesekali ia bersembunyi dari balik pagar saat ada pengendara yang melihatnya. Ketika ada pengendara yang memberinya uang, anak itu memotretnya. Kejadian itu pun berlangsung berulang-ulang.

Kemudian, aku mendekati temannya yang duduk di serambi masjid. “Apa yang kalian lakukan?” Tanyaku. “Mm.., kita sedang memotret wanita itu, Kak.” Jawabnya. “Untuk apa?” Tanyaku. “Untuk ikut lomba, Kak” tegasnya. “Do’akan kita menang ya, Kak!” Pintanya dengan tersenyum. “Pasti, Dik!” Jawabku.

Aku mulai berpikir, apa yang bisa aku lakukan untuk membantu wanita itu. “Ra..!” Finda mengagetkanku. “Finda, ngagetin saja.” Kataku yang agak kesal. “Kenapa melamun, Neng?” Tanyanya sambil menjail daguku. “Memikirkan bagaimana caranya aku bisa membahagiakan seseorang.” Kataku pelan dengan pandangan sedikit ke atas layaknya orang berkhayal. “Cie.., cie.., siapa, tuh?” ledek Finda. “Wanita bertopi yang sering aku lihat di lampu merah” Terangku.

“Wanita peminta-minta itu?” Tanyanya terkejut. “Untuk apa, Ra?” Tanya Finda. “Untuk membantunya, Fin” Jawabku. “Terus?” Tanyanya meminta penjelasan. “Adalah..” Kataku dengan senyum, dan alis yang sedikit aku naik-naikkan. Finda hanya tersenyum sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.

“Oh, iya. Bagaimana cerpennya?” Tanya Finda. “Insya Allah akan segera aku kirim. Tinggal mengedit saja.” Jawabku. “Sukses, ya Neng..!” Finda menepuk pundakku. Aku pun tersenyum. “Thanks ya..” Kataku. “Iya..” Jawabnya dengan tersenyum.

Hari ini, aku menyempatkan mampir ke masjid besar. Aku hanya ingin melepas lelah mengendarai sepeda motor. Usai aku memarkir sepedaku, aku langsung menuju tempat wudhu wanita. Aku basuh wajahku yang berminyak dan terasa panas, dan ada sesuatu yang memenuhi wajahku. Debu. Terik matahari membuat wajahku sangat rusuh. Air keran membuat wajahku terlihat cerah kembali. Segar sekali.

Aku lantas menuju serambi wanita. Aku duduk dan aku sandarkan punggungku pada dinding. Wajahku menelisik dan mendongak mencarai sosok wanita bertopi. Kemanakah ia?’ tanyaku dalam hati. Kenapa hari ini tak kulihat sosok wanita yang semangat dan kuat itu.


Aku berjalan mendekati wanita itu. Kuamati setiap gerak tubuhnya. Aku sebagai wanita yang diciptakan lebih sempurna darinya, sering menggerutu kepanasan. Hari ini aku merasakan, bagaimana sang surya melawan kekuatan kulitku. Aku duduk di trotoar. Dan masih mengamati wanita bertopi itu.

Tangannya kering, bibirnya pucat, kakinya busam, wajahnya basah penuh dengan keringat. Sesekali ia mengusapnya dengan tangan. Setiap angin bertiup menerpa topinya, ia segera mencengkeram kuat-kuat. Matanya terus tertutup dengan tangan kanan membawa bungkus jajan yang disodorkan kepada pengendara yang berhenti di lampu merah.

Semua orang mungkin menatapku heran. Duduk di trotor bersandingan dengan wanita bertopi. Dua sosok yang terlihat mencolok perbedaannya. Semua mata tertuju padaku. Aku sendiri tidak tahu, apakah yang ada dipikiran orang-orang saat melihatku.

Sesekali, ia berjalan dengan menggeser kakinya perlahan. Meskipun matanya tidak bisa melihat. Tapi, ia bisa merasakan dengan hati dan intuisinya yang tajam. Ada keinginan kecil dalam hatiku untuk bisa membuatnya tersenyum. Aku mencoba berpikir sambil mengamati wanita bertopi itu.

Hari ini, tak kulihat wanita bertopi itu berdiri di dekat lampu merah. Aku menunggunya sambil beristirahat di serambi masjid. ‘Kemana wanita itu?’ Tanyaku dalam hati. Aku seperti melihat keanehan dan keganjalan lampu merah itu, tanpa wanita bertopi yang sering aku lihat. Terasa hambar dan terlihat kosong.
‘Dimanakah wanita itu? Akankah ia datang di lain esok?’ Hatiku masih bertanya akan keberadaan wanita itu. Sosok yang begitu kuat. Dan senantiasa tersenyum dalam kecamuk penderitaan. Tapi baginya, jalan hidup harus ia jalani bagaimana pun medannya. Meskipun ia buta, tidak lantas menyurutkan niat dan semangatnya untuk tetap hidup di antara manusia yang lain yang lebih sempurna darinya.

Sudah beberapa minggu ini aku tak melihat wanita bertopi itu. Sungguh, perempatan itu terasa asing dan kurang sempurna tanpa kehadirannya. Hari ini aku membawa sebuah majalah. Cerpenku dimuat di majalah itu. Cerpen yang aku tulis tentang wanita itu. Ilustrasi yang dibuat oleh redaksi begitu tepat sasaran. Tepat seperti apa yang aku inginkan. Seperti potret wanita bertopi itu yang berdiri di dekat tiang lampu merah.

Tapi, dimana wanita itu? Aku ingin sekali memberikan honor cerpenku untuknya. Aku ingin ia duduk di sini menemaniku. Ingin sekali aku berbicara dengannya. Mencari semangat dalam hidupnya agar tumbuh dalam hatiku. Sosok yang mengingatkanku pada ibu yang sudah tiada. Aku ingin berbicara dengan wanita itu. Aku ingin kenangan bersama ibu itu muncul kembali.

“Ibu pergi meninggalkanku karena kecelakaan. Karena beliau buta. Ia tidak bisa melihat. Karena aku waktu itu pergi meninggalkannya sendiri. Aku telah lalai menjagaya.” Kataku sambil meraba ilustrasi yang ada di majalah itu. “Aku tak ingin wanita bertopi itu seperti ibu. Ia sangat kuat. Ia mempunyai hati yang bisa melihat. Aku ingin ia menemaniku berbicara, barang semenit saja.

Alangkah terkejutnya aku melihat berita yang di muat di koran lokal. Sebuah kecelakaan yang terjadi di perempatan jalan. Aku tahu persis tempat yang ada di koran tersebut. Usai membaca koran dari perpus, aku lantas datang menuju tempat kejadian.

Aku terasa lemas. Dadaku naik turun tak karuan. Aku duduk sejenak untuk mengatur nafasku yang tidak beraturan. ‘Aku benar-benar tidak percaya dengan apa yang diberitakan di koran itu. Wanita itu…, wanita yang menjadi berita di koran. Dia adalah wanita bertopi yang sering berdiri di dekat lampu merah’.

Aku terdiam duduk di trotoar. Aku benar-benar tidak percaya. Mataku kosong. Melihat jauh ke belakang akan sosok wanita bertopi yang sering ku lihat di perempatan lampu merah. Tiba-tiba, pandanganku jatuh pada sebuah topi yang pucat, tergeletak di tepi jalan. Aku pun mengambilnya.

Seketika air mataku menetes dari kedua mataku. Bayang-bayang wanita itu terus mengusikku. Perempatan itu begitu lekat dengannya. Ia selalu hadir di sana. Setia menanti pengendara sepeda motor dan mobil, demi secercah harapan. Bisa makan. Hidupnya ada di tangan para pengendara itu. Dari belas kasihannyalah ia bisa mendapatkan uang dan bisa makan untuk tetap mempertahankan hidupnya. Tapi, di tangan mereka pula lah, nyawanya melayang.

Aku meletakkan kembali topi itu di atas tanah. ‘Wanita itu telah tiada, tak ada lagi sosok wanita bertopi’ kataku dalam hati. Dari arah sampingku terdengar lantunan syair dari anak kecil (laki-laki). Ia berjalan melenggang di depanku, menghampiri para pengendara sepeda motor yang sedang menanti pergantian lampu lalu lintas. ‘Inikah sosok pengganti wanita itu?’ tanyaku dalam hati.

Setelah lampu merah itu berganti warna menjadi hijau, anak kecil itu lantas menepi di pinggir jalan. Kemudian ia duduk di sampingku. “Ini topi ibuku” kata anak itu. Pandanganku yang semula tertuju ke depan, langsung menoleh ke arah anak itu. “Ibu?! Wanita buta yang sering berdiri di perempatan ini?” tanyaku. Anak itu hanya menganggukkan kepalanya. Kemudian ia menutup kedua matanya dengan telapak tangannya. Ia menangis.

Aku pun menenangkan anak itu agar tidak menangis. “Kamu tidak boleh menangis. Apa kamu pernah melihat ibu menangis untukmu?” tanyaku. Ia pun membalasnya dengan menggelengkan kepalanya. “Lantas, kenapa kamu menangis untuk ibumu yang sedang bahagia di tempat peristirahatnnya?” tanyaku yang menahan tangis, sakit dan mengganjal di tenggorokan. Miris melihat anak itu.

Wajahnya polos, rambutnya tipis, memerah terkena sengatan matahari. Kulitnya hitam dan kering, mengharuskan ia menapaki panasnya aspal jalan tanpa sebuah sandal. Aku pun memakaikan topi itu (topi ibunya) di atas kepalanya. Aku pun tak kuasa menahan tangisku yang tiba-tiba pecah. Aku memeluknya erat dalam dekapanku.

“Jangan pernah menangis untuk ibumu. Tersenyumlah, dan Gapailah cita-citamu. Buatlah ibumu tersenyum melihatmu bahagia.” Kataku, menyemangatinya. Aku tak ingin ia seperti ibunya. “Kamu sudah makan?” tanyaku. Ia membalasnya dengan menggelengkan kepalanya, dengan topi yang kebesaran, sedikit longgar dipakainya. “Makanlah..!, ini untuk kamu” aku pun tersenyum padanya, dan meninggalkan ia.

‘Semoga hidupnya tak seperti apa yang dialami oleh ibunya. Ia harus bahagia. Ia harus bisa membuat ibunya tersenyum. Meski pun ia telah tiada. Kini, wanita bertopi itu telah tiada, yang ada hanya anak laki-laki kecil yang senantiasa berdiri di perempatan jalan. Menggantikan sosok ibunya’.

Selesai

Cerpen Karangan: Choirul Imroatin

Facebook: Choirul Imroatin

Ini merupakan cerita pendek karangan Choirul Imroatin, kamu dapat mengunjungi halaman khusus penulisnya di: Choirul Imroatin untuk membaca cerpen cerpen terbaru buatan penulis yang telah di terbitkan di cerpenmu, jangan lupa juga untuk menandai Penulis cerpen Favoritmu di Cerpenmu.com!

Cerpen ini lolos moderasi pada: 14 September, 2013

Malam ini Darwin tak bisa tidur. Dia terus mengingat-ingat Profesor. Albert William – Kakeknya – yang kabarnya sakit parah. Dia sungguh tak bisa membayangkan jika Kakeknya itu meninggal. Karena memang umur Kakeknya sudah mencapai tujuh puluh tahun.

Dia masih terduduk di tempat tidur biasanya dan memandang beberapa temannya yang sedang bergulat dengan alam mimpinya. Dia melihat Edgar membuat lautan di bantalnya. Dia juga melihat Polly Marco sedang mengigau. Dia hanya mendengar beberapa bagian kata. Seperti, ‘Yeay, aku bisa terbang’. Karena memang benar, dia sangat buruk dalam hal menggunakan sapu terbang. Dan dia adalah murid paling jail bersama Bert Wilson. Tiap harinya mereka hanya bisa menjaili saja.

Darwin segera meloncat ke atas tepan tidurnya. Dia menelungkupkan tubuhnya dan mencoba tidur. Namun hasilnya sama saja. Dia tak bisa tidur. Pikirannya sedang kacau balau. Dia harus tenang dulu jika akan tidur.

Beberapa minggu yang lalu, Edgar bilang kalau dia adalah anak laki-laki paling baik yang pernah dia temui. Dia berbeda dengan Polly dan Bert yang kerjanya hanya menjaili Dustin George, si anak coklat. Pernah suatu hari, Polly dan Bert menyelipkan permen coklat meledak yang bisa meledak ketika kita kunyah. Entah darimana mereka mendapatkannya. Tapi yang pasti, Dustin merasa kaget dan hampir menangis. Tentu saja, apa yang akan kita rasakan jika memakan coklat dan meledak di mulut kita?

Edgar juga bilang bahwa Elizabeth adalah gadis terpintar yang dia temui. Dia – Elizabeth – juga adalah gadis paling cerewet dan sensitif di dunia. Berbeda dengan Samantha, dia gadis manis bermata hitam dengan rambut hitam sebahu. Samantha adalah gadis tercantik yang Edgar lihat. Itu hanya menurut Edgar.

Apalagi yang paling konyol, dia sering menyebut-nyebut Cole bersama Thom dan Jerry-nya. Dia selalu tertawa-tawa ketika melihat Cole dengan Thom dan Jerry di belakangnya yang sedang berdebat. Dia selalu tak bisa menahan tawanya. Walau kadang hal itu diketahui Cole.

“Arghh, aku tak bisa tidur!” geram Darwin. Sudah pukul 00.00, namun Darwin tak bisa tidur. Banyak sekali yang mengganggu pikirannya. Pertama soal Kakeknya, yang kedua soal sihir jahat yang terus saja mengganggunya. Dia benar-benar merasa tersiksa dengan dua hal itu.

01.00

Darwin sedikit tertidur. Dia sudah bisa lebih tenang dari sebelumnya. Tapi sihir jahat itu masih menggandrungi pikirannya. Dia terus merasakan sihir-sihir itu ada di mana-mana.

02.00

Darwin terbangun lagi dan tak bisa tertidur. Dia terus merasakan sentuhan-sentuhan jahat itu. Dia merasa begitu banyak sihir jahat yang ada di sekitarnya. Banyak, sangat banyak!

“Arghh, ini sangat mengganggu. Mengapa sihir hitam itu begitu banyak?” keluh Darwin sambil memegang kepala dan menggeleng-gelengkannya.

“K-kau, me-rasakan-nya la-gi?” ucap seorang gadis bersuara kecil cempreng sedikit tergagap. Darwin mengalihkan pandangan ke arah tangga.

“Elizabeth? Kau sudah bangun?” tanya Darwin.

“Aku memang sering bangun pukul segini. Tiap hari juga. Biasanya aku belajar, aku harus lebih pintar dan mengalahkan Cole. Kau sendiri mengapa belum tidur?” tanya Elizabeth. “eh, tadi kamu bilang sihir hitam ada di mana-mana. Bagaimana perasaanmu?” tanya Elizabeth lagi tanpa memberikan waktu Darwin untuk menjawab pertanyaan pertama.

“Rasanya sangat mengganggu.” Darwin berucap datar.

Dengan cepat Elizabeth langsung berlari lagi menuju kamarnya. Darwin mengerenyit melihat tingkah aneh dari Elizabeth. Dia memang aneh, sangat aneh.

Selang beberapa menit, Elizabeth datang lagi dengan membawa sebuah buku yang cukup tebal. Buku itu berjudul ‘Pengendalian Ilmu Ghaib’. Dia segera melemparkan bokongnya di samping Darwin yang tengah terduduk di kasurnya.

“Lihat ini. Halaman 204. Tentang Sleepy Life Body. Jika kita tak bisa mengendalikan ini kita bisa depresi dan akhirnya stres. Baca!” suruh Elizabeth pada Darwin. Darwin membelalak.

“Kau menakut-nakutiku?” tanya Darwin.

“Tidak! Kau harus bisa mengendalikannya.” tekan Elizabeth dengan menunjuk-nunjuk lembar buku di sana.

“Lalu bagaimana?”

“Terbiasalah!” ucapnya lalu menutup buku keras dan berlalu pergi ke kamarnya lagi.

“Huuaahhh! Kau tak bisa tidur Darwin?” Edgar tiba-tiba bangun dan menggosok-gosok matanya yang abu-abu. Dia duduk sambil sedikit menguap.

“Tadi siapa yang datang?” tanyanya lagi.

“Elizabeth.” ucap Darwin singkat.

“Dasar! Dia membangunkanku!” ucap Edgar dengan sedikit mendelik ke arah tangga.

“Sudahlah, dia memang seperti itu mungkin.”

“Tapi aku tak suka dia. Dia sepertinya menyukaiku.” ucap Edgar percaya diri.

“Asal kau tahu! Aku tak pernah menyukaimu!” sebuah suara dari atas masuk ke gendang telinga Edgar dan Darwin. Sudah pasti, itu adalah suara Elizabeth.

“H-h..” Edgar menahan tawa. Darwin hanya memamerkan giginya mendengar tingkah konyol Elizabeth.

“Sudah kubilang, dia menyukaiku.” bisik Edgar.


Matahari siang ini sangat menyengat. Apalagi sekarang harus belajar sapu terbang. Profesor. Lopez. Dia adalah guru perempuan paling galak yang pernah Darwin temui di Grondey. Hingga bulan keempat dia di Grondey, dia masih belum bisa memahami gurunya yang satu ini. Apalagi untuk Polly Marco, dia adalah salah satu anak yang paling menderita dalam pembelajaran ini. Tiap kali masuk pasti selalu menjadi bahan tertawaan anak-anak. Juga bahan untuk dimarahi Profesor. Lopez.

“Gila! Sekarang bagian pelajaran si tua Lopez itu! Pasti dia akan berkata begini ‘Aku sangat tidak suka pada murid yang tak mahir dalam pembelajaranku’.” ucap Polly dengan gaya khas Prof. Lopez. Dia memang benci padanya. And ai dia bisa melepas pelajaran yang satu ini. Pasti dia sangat bahagia.

Berbeda dengan Dustin. Dia adalah anak paling mahir bersapu.

“Sudahlah, Poll! Kau mungkin sudah keturunan tak mahir bersapu. Terima apa adanya!” Bert menenangkan Polly. Polly hanya menggeleng pasrah.

“Darwin, bagaimana dengan PR ramuan? Apakah kau sudah mengerjakannya?” tanya Edgar sambil berjalan ke lapangan.

“Darwin, aku sudah menyelesaikannya. Dua gulung perkamen, kau bisa menyalin punyaku.” ucap Elizabeth manis.

“Wah! Aku boleh?” tanya Edgar bahagia.

“Maaf Tn. Ferdinand, saya tidak berbicara dengan ANDA!” ucap Elizabeth sambil menaikan nada pada kalimat terakhir. Edgar membelalak.

“Dasar! Gadis bodoh! Dia pasti marah padaku. Awas saja, akan kudekati Samantha!” bisik Edgar.

Darwin hanya bisa menggeleng-geleng melihat tingkah aneh kedua sahabatnya.


“Baiklah, pelajaran ramuan selesai. Kalian boleh mengumpulkan PR kalian dan kembali ke hotel masing-masing.” ucap Profesor. Colin pada anak-anak.

Semua murid segera mengumpulkan PR masing-masing. Ketika Darwin hendak keluar, Profesor. Colin memanggilnya.

“Darwin, sini sebentar!” panggilnya. Darwin terhenti dan menuju meja Profesor. Colin.

“Ya, Anda perlu bantuan apa, Profesor?” tanya Darwin sopan.

“Aku hanya ingin memberitahukanmu. Jangan mudah dekat dengan seseorang. Nyawamu sedang terancam!” ucapnya dingin. Darwin terbelalak!


Darwin sendirian di kamarnya sambil memeluk lutut. Tubuhnya gemetaran. Dia sudah izin untuk tak masuk pelajaran Ramalan hari ini. Dia sakit, namun tak mau pergi ke Rumah Sakit. Badannya sedikit panas. Kata-kata Profesor. Colin sungguh berpengaruh besar padanya. Seakan-akan dia takut untuk kehilangan nyawanya. Dia benar-benar takut. Hanya beberapa kalimat yang terucap dari tenggorokan Profesor. Colin, namun akibatnya sungguh luar biasa untuk Darwin. Dia tak bisa membayangkan. Tak bisa! Bayang-bayang sihir jahat menghantui kepalanya. Begitu banyak hal yang membuatnya ingin pingsan.

“Aku akan makan banyak anak-anak?” tanya sebuah suara besar dan menggema.

“Ya! Kalian boleh makan sepuasnya!”

“Hhahaha!”

Terdengar suara hentakan kaki beribu-ribu makhluk. Darwin mulai menerawang, makhluk apa itu? Ketika dia semakin mendalami sentuhan itu, terlihat sekumpulan Goblin jahat yang akan memakan anak-anak Grondey. Ini tak bisa dibiarkan. Dia langsung membuka mata dan berlari menuju Aula Depan.

“Goblin akan menyerang kita! Kita harus waspada! Kita harus menutup seluruh pintu menuju Grondey! Menutupnya sekarang!” teriak Darwin di Aula Depan. Semua orang yang ada di sana menatap Darwin aneh.

“Sungguh! Aku tidak bohong! Para Goblin itu akan menyerang kita.” Darwin meyakinkan.

“Kau mungkin sakit, Darwin.” ucap Profesor. Robert yang baru selesai mengajar.

“Tidak, itu benar!” Darwin lebih meyakinkan.

“Ya, dia benar.” Elizabeth yang sedang ada di sana mendukungnya. Yeah, karena dia tahu bahwa Darwin benar-benar bisa merasakan sihir jahat.

“Tadi dia tak masuk ke kelasku. Dia sakit. Kau pasti mengigau, Darwin.”

“Tidak!” bentaknya.

“Dia benar Profesor, ya kan Profesor. Colin?” tanya Elizabeth. Colin diam. Darwin menatapnya.

“Dia benar,” ucap Colin ragu.

“Aku adalah guru Ramalan. Itu tak benar. Ayo Darwin, Elizabeth, kalian harus ke kamar.”

“Tapi Profesor…”

“Cepat, Darwin.”

Mereka berdua berjalan menuju kamar dengan murung. Elizabeth tahu Darwin benar. Tapi mengapa mereka tak percaya?

“Aku bisa merasakannya!” ucap Darwin ketika mereka sudah sampai di kamar.

“Aku tahu, mereka hanya tak tahu kau mempunyai kelebihan itu.” tenang Elizabeth.

‘Krekk!’

Pintu tiba-tiba saja terkunci dengan sendirinya. Elizabeth dan Darwin melotot kaget. Bagaimana jika mereka tak bisa keluar ketika para Goblin itu masuk? Sedangkan Edgar dan Samantha ada di luar. Juga anak-anak lainnya.

“Elizabeth, gawat! Kau harus mencari buku tentang Makhluk di Dunia Sihir. Tepatnya Goblin. Kita harus mencari cara untuk mengalahkan mereka! Harus!” ucap Darwin buru-buru. Dia tahu Elizabeth pandai. Dan dia tahu, pasti Elizabeth mengetahuinya.

“Aha! Yeah! Kau benar. Aku rasa aku punya bukunya.”

Elizabeth langsung berlari menuju kamarnya. Dia segera mencari-cari buku tentang Makhluk Dunia Sihir. Sementara Darwin memejamkan mata dan mencoba menyentuh makhluk itu. Mereka berada dua km di dalam Hutan Scarymus. Darwin membuka mata kembali. Tak lama Elizabeth sudah turun lagi dengan membawa buku. Dia segera mencari daftar tentang makhluk Goblin.

“Lihat, Garduck, Gilgor, Goblin. Ini dia, halaman seratus sepuluh.” Elizabeth membuka-buka lembar halaman.

“Goblin, makhluk kecil pemakan daging. Cara mengalahkan, emm… mana ya? Oh, ini. Cara menghancurkan Goblin yaitu dengan tanaman Kedilor. Ya ampun, kita harus keluar. Dan disertai dengan mantra ‘Ordinggo Goblin’.” ucap Elizabeth lancar dengan membaca dari buku.

“Bagaimana kita bisa mendapatkannya?” tanya Darwin.

“Harus keluar. Ke taman.”

‘Brakkk!’

Suara pintu asrama terdengar terbuka. Ketika mereka melihat ke depan sudah ada puluhan Goblin masuk ke sekolah. Elizabeth dan Darwin terbelalak. Apa yang harus mereka lakukan?

“Darwin bagaimana ini?” tanya Elizabeth sambil menahan air mata.

“Aku tak tahu. Coba saja cara lain.”

“Tak ada.” ucap Elizabeth.

Elizabeth mondar-mandir tak menentu. Dia tak tahu apa yang harus dia sendiri lakukan. Teriakan di luar sana membuatnya semakin tak karuan.

“Kita harus mendobrak pintunya! Harus Darwin!” ucap Elizabeth sambil memegang pundak Darwin.

“Ta-tapi, aku tak bisa.” ucap Darwin. Elizabeth mengambil tongkat sihirnya.

“Mari kita hancurkan benda ini dan keluar untuk menyelamatkan teman-teman kita.” ucap Elizabeth.

“Kau tahu mantranya?”

“Kalau tak salah, ya. Kita coba terlebih dahulu. Rolariddas!”

‘Brakkk!’

Pintu itu hancur. Elizabeth menoleh ke arah Darwin. Dia mengerlingnya, Darwin tersenyum. Mereka pun segera keluar dengan tongkat sihir mereka.

Dilihatnya seluruh sekolah berantakan. Anak-anak berlarian bersembunyi dan berteriak-teriak. Elizabeth dan Darwin segera berlari turun ke Aula Utama.

“Bagaimana kita mengalahkan mereka? Kita tak punya tanaman Kedilor.” tanya Darwin.

“Kita coba saja dengan mantra tadi. Semoga saja bisa mempan.”

“Mantra mana?” tanya Darwin.

“Rolariddas. Mantra itu untuk menghancurkan benda. Aku tak tahu apakah bisa atau tidak. Jika tidak, kita coba saja dengan Ordinggo Goblin.” ucap Elizabeth.

Mereka segera turun dan berhenti tepat di tangga terakhir. Semua murid dan guru yang ada di sana terhenti dan melihat Elizabeth dan Darwin.

“Kau pergi saja ke taman dan buat ramuan. Aku akan menyelesaikan semua ini.” bisik Darwin pada Elizabeth. Elizabeth mengangguk. Mereka segera berlari.

“Kyyaaaa! Ordinggo Goblin! Ordinggo Goblin!” ucap Darwin sambil mengacung-acungkan tongkat pada Goblin-Goblin.

Para Goblin itu langsung menatap ke arah Darwin dan akan menyerangnya.

“Ordinggo! Ordinggo Goblin!” ucapnya.

Namun sayang, Goblin itu tak sama sekali hancur dan hilang. Mereka menatap Darwin dengan mata bulat coklatnya. Darwin sedikit mundur dan ketakutan. Dia melihat ke arah belakangnya. Para murid-murid tampak gemetaran.

“Profesor. Colin, bantu aku!” teriaknya.

Profesor. Colin pun langsung berlari dan mengambil tongkat Darwin.

“Mari kita lakukan bersama. Kau pakai tongkat punyaku.” ucap Profesor. Colin.

Sementara di luar, Elizabeth dikejar-kejar oleh lima Goblin menuju taman. Dia salah, Ordinggo Goblin tak mempan untuk mengalahkan Goblin hanya dengan satu kali. Harus beberapa kali.

Dia terus berlari di kebun sambil mencari-cari tanaman yang bernama Kedilor. Dia lupa, dia takut salah dengan daun tanaman tersebut.

“Ordinggo Goblin!”

Profesor. Colin dan Darwin terus mencoba menghancurkan Goblin-Goblin jahat itu mereka terus mengacung-acungkan tongkat dan menghancurkan Goblin itu. Sampai pada mantra yang kesekian kalinya, mantra itu malah berbalik pada Darwin dan membuatnya terjengkal dengan dahi dan hidung berdarah.

“A-aww!” desisnya.

Seluruh murid Grondey terbelalak melihat Darwin terjatuh dan terlempar ke arah tembok.

“Kau baik-baik saja, Darwin?” tanya Profesor. Colin.

“Yeah, aku tak apa-apa.” ucapnya sambil mengambil kembali tongkatnya.

“Kau pakai punyamu lagi, ini! Kembalikan punyaku.” ucap Profesor. Colin. Darwin memegang kembali tongkatnya dan kembali mengucapkan mantra. Kedua kalinya dia gagal dan terseret kembali ke arah tembok.

“Darwin!” Edgar hendak membantu, namun Samantha mencegahnya.

“Jangan!” cegah Samantha.

Tak lama dari itu, seorang anak perempuan datang dan berucap “Ordinggo Goblin!”

‘Brakk! Duarr!’

Semuanya berubah gelap.


“Bagaimana keningmu Darwin?” tanya Elizabeth.

“Oh, Yeah. Itu sedikit membuatku sakit. Sekarang sudah lebih baik.” ucap Darwin.

“Aku sangat menyukai adegan saat kau mengacungkan tongkatmu dan berkata ‘Ordinggo Goblin!’.” puji Edgar.

“Aku tahu aku tak penting dalam peristiwa Goblin itu!” ucap Elizabeth sedikit mencibir.

“Tentu saja! Kau itu tak penting, BODOH!” ucap Edgar.

“Jika aku tak membuat ramuan itu, Darwin akan lebih terluka, dan kau juga akan dimakan Goblin!” ucap Elizabeth.

“Yeah, dia lebih berjasa, Edgar.”

“Teman-teman! Lihat! Kalian berdua ada di Grendoy Day – semacam koran -. Kalian ada di sini. Elizabeth dan Darwin.” ucap Samantha dari kejauhan sambil melambaikan koran itu.

“Lihat!”

“Penyelamat Asrama. Si Pandai Elizbeth dan Darwin.”

“Waw lihat! Mereka menyebutku pandai!” ucap Elizabeth.

Darwin tersenyum. Samantha terlihat sangat bahagia melihat kedua sahabatnya muncul di Grondey Day. Apalagi Edgar. Dia amat kagum.

“Waw! Lihat kalian berdua. Aku bersyukur mempunyai teman seperti kalian.”

Keempat anak itu pun berjalan menuju hotel dan kamarnya masing-masing. Kejadian sehari yang lalu tak akan pernah mereka lupakan. Apalagi penyelamat asrama baru kelas satu. Pasti hal itu akan menjadi yang pertama bagi mereka dan Grondey.

- SELESAI -

Cerpen Karangan: Selmi Fiqhi

Blog: https://selmifiqhi.blogspot.com/

Facebook: https://www.facebook.com/selmifiqhikhoiriah

Twitter: @SelmiFiqhi

Ini merupakan cerita pendek karangan Selmi Fiqhi, kamu dapat mengunjungi halaman khusus penulisnya di: Selmi Fiqhi untuk membaca cerpen cerpen terbaru buatan penulis yang telah di terbitkan di cerpenmu, jangan lupa juga untuk menandai Penulis cerpen Favoritmu di Cerpenmu.com!

Cerpen ini lolos moderasi pada: 21 September, 2013

Koper besar itu terus diseretnya sekuat dia bisa. Koper hitam yang berisi pakaian-pakaian dan beberapa kebutuhannya nanti di sekolah barunya. Dia memandang beberapa orang anak yang diantar orangtuanya ke sana – stasiun -. Dia hanya melihat dirinya sendiri yang berangkat tanpa ditemani siapapun. Dirinya sendiri.

Dia masih meringis menanggung berat beban yang dia bawa. Tak adakah kasihan dari kedua orangtuanya untuk mengantar dia? Ah… mereka tak mungkin merasa kasihan. Tentu saja, mereka selalu menganggap dia itu tak ada gunanya. Maka dari itu, mereka akan mengirimnya ke asrama. Begitulah tinggal bersama orangtua tiri – Ayahnya menikah dengan Ibu tirinya. Ayahnya meninggal, dan Ibu tiri menikah lagi dengan Ayah tiri barunya – yang kejam. Dia seolah hanya seorang parasit dalam hidup mereka. Sedangkan kedua saudaranya – Billy dan Nelly -, selalu saja dimanja dan diutamakan. Tak seperti dirinya. Dikucilkan dan ditelantarkan.

“Arrgghh!” geramnya gusar.

Anak usia dua belas tahun itu masih menarik kuat-kuat kopernya. Dia sungguh sudah sangat lelah terus menyeret koper itu. Tak adakah satu orang yang peduli terhadapnya?

Kereta Express menuju Grondey-asrama tujuannya-sudah siap untuk melaju. Namun dia masih saja menyeret-nyeret kopernya. Padahal kereta akan meluncur sekitar lima menit lagi. Dia semakin terengah-engah.

“Hey, Nak! Kau butuh bantuan mengangkat kopermu?” ucap seorang pria tua dari belakangnya.

“Aa, iya. Tolong bantu aku Tuan.” balasnya dengan nafas tersendat-sendat.

“Oh! Kopernya berat sekali. Mengapa orangtuamu tak mengantarkanmu ke sini?” ucap pria tua itu sambil memanggul koper milik anak tersebut.

“Oh, mereka tak akan peduli padaku. Terimakasih, Tuan, mau membantuku.” ucapnya.

“Ini kopermu. Itu tak usah kau pikirkan. Semoga perjalananmu lancar menuju Grindey.” teriaknya.

Dia melambai tangan pada Pak tua itu. Lalu merogoh saku dan melihat nomor kursi yang akan dia duduki. Dia segera mengalihkan pandangannya ke arah kursi yang dia cari. Ahh, kursinya tepat ada di samping dia berdiri. Eh, tapi tunggu. Mengapa Pak tua itu tahu bahwa dia duduk di gerbong ini? Gerbong ke delapan? Ahh… biarlah! Yang penting sekarang dia sudah bisa masuk ke kereta. Tapi bagaimana caranya nanti dia keluar? Pasti kopernya berat juga. Koper itu tak mungkin berubah menjadi ringan ketika dia sampai di Grondey. Mana mungkin!

Dia melirik ke segala arah. Termasuk ke sampingnya dan depannya. Di samping tempat duduknya ada seorang anak perempuan yang tengah berkutat pada buku yang dia pegang. Sedangkan di depannya ada seorang anak laki-laki yang tengah mengunyah dan menggelembungkan permen karetnya.

“H-hay!” sapanya sedikit gelagapan.

Anak yang duduk di depannya menatap ke arah dia dan tersenyum paksa padanya. Dia pun kembali menatap keluar dan menggelembungkan permen karetnya.

“Irrgh…” dengusnya pelan sambil sedikit bergidik. Anak di depannya benar-benar sedikit jorok. Permen karet yang sudah meledak ke wajahnya dia kunyah kembali. Ihhh…!

Dia pun memalingkan pandangan pada anak perempuan di sampingnya. Sepertinya gadis itu melihat pandangannya. Dia menatap anak laki-laki tersebut dan tersenyum lalu duduk di sebelahnya.

“Hello? Namaku Elizabeth Benson. Siapa namamu?”

“Da-Darwin Wil-William.” ucapnya tergagap. Eliza tersenyum tipis.

“Bolehkan kau berbagi tempat duduk bersamaku? Aku tak ada teman di sana.”

“Te-tentu.” Darwin masih tergagap.

Dia memandang Elizabeth yang tengah menghafalkan beberapa kata dari buku tebalnya. Dia tampak sedang berkonsentrasi pada bukunya. Darwin menatap anak pemakan permen karet. Dan sekarang didapatinya anak itu sudah tertidur pulas di kursinya.

“Tanaman Fluste digunakan untuk menghangatkan orang yang sedang kedinginan. Sari-sari dari daun tumbuhan tersebut disaring dan disatukan dengan air yang sudah kita panaskan. Lalu aduk sampai air itu berwarna hijau dan berikan pada orang yang sedang kedinginan. Sekarang tanaman Kedilor digunakan…” hafal Eliza.

Darwin sedikit bingung dengan yang dihafalkannya. Nama-nama tanaman yang dia sebut sungguh asing. Tak pernah sama sekali dia mendengar salah satu dari nama tanaman yang dia sebut sungguh asing. Tak pernah sama sekali dia mendengar salah satu dari nama tanaman yang telah Benson sebutkan. Dia membuat Darwin sedikit bingung.

“Elizabeth?”

“Ya?” balasnya sambil tersenyum.

“Apa yang sedang kau hafalkan? Rasanya semua nama-nama tanaman tersebut asing bagiku.” ucap Darwin sedikit penasaran.

“Oh ini, ya? Apakah kau tahu sihir?” tanya Elizabeth. Darwin menggeleng.

“Kau akan masuk sekolah sihirkan di Grondey?” tanya Elizabeth lagi. Darwin masih menggeleng.

“Oh, kau bukan turunan penyihir, ya? Aku juga sebenarnya bukan, namun aku tahu. Sebaiknya aku tak memberitahukan hal ini pada manusia biasa. Kau pasti akan bersekolah seperti biasa kan di Grondey?”

“Mungkin.” jawab Darwin datar.

Elizabeth mengangguk-angguk. Dia tersenyum tipis pada Darwin dan kembali berkutat pada bukunya. Memangnya apa maksud Elizabeth? Memangnya ada sihir di Grondey?


Satu jam perjalanan telah berlalu. Kereta Express Grondey mulai mengeluarkan decitan besi dengan besi. Perlahan kereta itu mulai terhenti. Anak-anak dalam kereta segera berhamburan keluar.

“Darwin, kuharap kita bisa bertemu lagi. Aku harus pergi dulu. Bye!” bisiknya pelan di telingan Darwin.

“Bye!” balasnya lemah.

Darwin pun segera menyeret kopernya kembali. Rasanya semakin berat saja kopernya. Dia mulai meringis lagi. Argghh, kenapa harus menarik benda bodoh ini?

“Hey, Nak! Sini kubantu lagi!”

Tiba-tiba seorang pria tua mengangkat koper miliknya. Pria tua itu tak lain adalah pria tadi.

“Terimakasih, Tuan.” ucap Darwin. Pria itu tersenyum hangat.

“Oh, ya. Siapa namamu, Tuan?”

“Kau bisa panggil aku Robert.” ucapnya datar. Darwin memandangnya ke atas.

“Lalu siapa namamu, Nak?”

“Darwin. Darwin William.” balas Darwin. Pria itu menatap Darwin dan tersenyum lagi.

“Kau akan menjadi anak yang hebat, Darwin.” ucap Robert. Darwin tersenyum.

“Aku harap begitu. Terima kasih.”

“Baiklah, aku hanya bisa mengantarmu sampai ke sini. Sampai jumpa Rabu!” ucap Robert.

Rabu? Apakah mereka benar-benar akan bertemu lagi Rabu? Entahlah.

Ketika Darwin sedang bingung-bingungnya sendiri, sesuatu tiba-tiba terjatuh dengan bunyi ‘pluk’ di lantai. Darwin segera memungut benda tersebut di lantai. Dilihatnya itu sebuah kartu nama.

“Edgar Ferdinand!” sahutnya sedikit berteriak sambil membaca nama di kartu tersebut.

“Yeah, itu namaku!” ucap seorang anak seumurannya berambut coklat tua.

“Oh, kau menjatuhkan ini.” kata Darwin sambil menyondorkan secarik kertas yang berisikan nama dan beberapa identitasnya.

“Yeah, terimakasih banyak. Aku bisa dimarahi jika kartu ini hilang.”

Edgar mengambilnya dari tangan Darwin. Darwin hanya sedikit tersenyum simpul.

“Baiklah, aku sedang buru-buru. Aku duluan.” ucapnya sambil berlalu.

Darwin hanya mengangguk-angguk sambil menatap sekeliling. Sekarang ke mana dia harus pergi? Dia sungguh tak punya teman. Dilihatnya beberapa orang dengan menggunakan seragam yang sama. Mereka berjalan menuju lantai atas. Mungkin dia bisa mengikuti mereka terlebih dahulu. Pikirnya.

Dia segera mengikuti mereka dengan menyeret-nyeret koper besar hitamnya. Mereka berbelok, lurus, sampai akhirnya mereka hilang.

“Di mana mereka?” ucapnya bingung sendiri.

Dia segera menghamburkan pandangannya ke segala arah. Dilihatnya hanya kosong. Ruangan itu kosong melompong. Namun hanya ada satu benda terpampang di situ. Sebuah lukisan Monalisa raksasa. Dia pun menyentuh lukisan itu. Tiba-tiba matanya mendelik ke arah dia.

“Arghh!” ucapnya setengah kaget.

Mata Monalisa itu kembali seperti semula. Dia melihat-lihat lalu meraba pada bagian hidungnya. Persis sekali, hidung Monalisa itu timbul. Dia memutar hidungnya dan akhirnya dia tersedot ke dalamnya.

“Arrgghhh!”

Dia berputar-putar. Rasanya pusing sekali. Dia merasa dirinya digoncangkan dan dikocok-kocok keras. Matanya tak bisa memandang dengan jelas. Dalam waktu beberapa detik kemudian, dia sudah terjatuh di atas lantai dengan kopernya.

“Yeah, itu bagus sekali. Monalisa itu mempermainkanku.” ucapnya sendiri sambil menyentuh kepalanya yang berambut hitam legam.

Dia membenarkan rambutnya yang sedikit berantakan. Dia pun segera bangun dari jatuhnya.

Tunggu, di mana dia? Ini bukan Grondey. Sekolah ini berbeda dengan Grondey. Mereka – orang-orang yang berlalu lalang di sana – memakai pakaian yang sangat aneh. Mereka memakai jubah hitam panjang. Baju-baju mereka semua berwarna coklat tua. Mereka membawa sebuah tongkat yang kira-kira panjangnya tiga puluh centi meter. Darwin semakin kebingungan. Mengapa dia bisa ada di sana? Hanya lewat hidung Monalisa?

“Darwin!” seru seseorang.

Suaranya melengking tinggi. Sangat kecil dan memekik.

“Yeah?”

Darwin mendongak. Dilihatnya gadis berambut pirang sepunggung dan tersenyum simpul padanya.

“Elizabeth?” tanyanya.

“Bagaimana bisa kau di sini? Kau ikut sekolah sihir?” tanya Elizabeth sedikit berbisik.

“Sihir? Aku tak tahu sama sekali. Tadi aku memutar hidung Monalisa, dan tiba-tiba saja dia menyedotku. Dan jadilah aku di sini.” ucap Darwin. Dia berucap sambil sedikit kebingungan.

“Jadi kau tak sengaja di sini?”

“Bisa dibilang begitu mungkin.” ucapnya malas.

Elizabeth pun segera membuka koper Darwin.

“Untuk apa kau membukanya?”

“Aku harus melihat, apakah kau membawa peralatan sihir atau tidak.” ucap Elizabeth.

Dia membuka koper itu. Dan TARA! Isi koper itu adalah peralatan penyihir terbaru dan terbaik. Di dalam koper milik Darwin lengkap sekali. Mereka berdua kaget. Mengapa ada peralatan itu di dalam koper Darwin?

“Pantas saja koperku berat sekali. Isinya itu semua. Siapa sih yang memasukannya?”

“Hah?! Lihat! Kau punya kartu nama ini. Ini kartu penyihir. Berarti ada salah satu keluargamu penyihir di sini.” ucap Elizabeth.

Darwin semakin bingung. Dia tak mengerti apa yang sebenarnya telah terjadi padanya. Semuanya memusingkannya.

“Ahh, aku tak mengerti apa maksudnya.”

“Kau lihat! Di sini kau berdara di hotel D. Atau bisa disebut dengan nama Drawsenclass. Kita satu hotel. Ayo, kita harus segera ke sana!” ajak Elizabeth.

Darwin hanya menuruti dan berjalan bersamanya. Dia pun masuk ke dalam sebuah kelas yang biasa-biasa saja dan sederhana. Namun dia kaget ketika seseorang yang dikenalnya ada di sana.

“Edgar!” sahutnya.

Edgar mendongak. Dia tersenyum ketika melihat orang yang telah menolongnya tadi ada di sana.

“Eh, hay! Maaf tadi aku buru-buru.” ucapnya.

“Tak apa-apa. Ternyata kita berada di satu hotel, ya.” ucap Darwin.

“Darwin! Aku harus ke kamarku dulu. Di sini kamar pria, aku sekedar mengantarmu saja. Bye.” ucap Elizabeth sambil berlalu.

Darwin hanya menarik alisnya sedikit. Edgar menyenggolnya.

“Aku lupa, aku belum tahu namamu.”

“Darwin William.”

“Waw! Seperti kepala sekolah kita. Profesor. Albert William.” ucap Edgar dengan mata abu-abunya.

“Yeah, banyak orang dari keluarga William.” katanya lagi.

“Yeah, sepertinya.” Darwin menambahkan. Kelihatannya sekarang Darwin sedikit tenang. Dia sudah punya teman dan akan menjalani hari-hari bersama teman barunya. Walau baru dua orang.


“Kemarin aku melihat orang-orang memakai jubah hitam di sini. Tapi mengapa sekarang jadi coklat, ya?”

“Astaga! Darwin, kau benar-benar melihatnya?” Elizabeth terlihat kaget. Begitulah dia, selalu berlebihan ketika dia kaget.

“Yeah, bisa dibilang begitu. Mereka semua memakai seragam coklat dan jubah hitam.”

“Ini gawat!”
Elizabeth langsung berlari entah ke mana tujuannya. Dia terlihat sangat buru-buru. Darwin, Edgar dan Samantha – teman baru Elizabeth – hanya memandangnya aneh. Mereka memang baru pulang dari kelas Mantra. Pelajaran pertama mereka.

“Ada apa dengan anak itu? Dia memang berlebihan.” ucap Edgar.

Mereka kembali melanjutkan perjalanan mereka menuju hotel masing-masing. Sesampainya di sana, tak ada Elizabeth. Dan Samantha harus pulang sendiri ke kamarnya.

“Kasihan Samantha, gara-gara gadis itu dia ke kamar sendirian.” Edgar langsung menyerocos ketika mereka sampai di kamar.

“Mungkin dia memang seperti itu.”

“Oh yeah, setelah ini kita akan belajar apa?” Edgar tampak sedang memilah-milah buku.

“Biologi. Tapi sepertinya semuanya aneh-aneh. Aku tak mengerti. Sejak di kereta aku melihat Elizab..”

“Hah, hah! Akhirnya aku tahu penyebabnya!” Elizabeth tiba-tiba datang ngos-ngosan sambil membawa buku dan memotong pembicaraan Darwin.

“Ini! Kau memiliki kelebihan Darwin. Setiap orang yang kau lihat memakai jubah hitam, mereka adalah orang-orang tersembunyi dan orang-orang yang bertentangan di sekolah ini. Ada cara untuk mempelajarinya. Kapan kau belajar tentang itu Darwin? Ahh, aku sangat lelah.” ucap Elizabeth dengan nafas terengah-engah. Edgar sedikit memandang aneh padanya.

“Darwin tak menyuruhmu untuk memberitahunya.” ucap Edgar.

“Tapi aku harus tahu!” Elizabeth membentak.

“Lihat Samantha! Dia pulang ke kamar sendirian.” kata Edgar dengan memutarkan bola mata ke arah tangga. Memang, kamar perempuan ada di atas.

“Aku tahu. Dia bernama Samantha Fransisco. Dia memang lebih cantik daripada aku. Dia memiliki rambut merah ke coklat-coklatan. Mata hijaunya yang besar memang membuatnya tambah cantik. Dia juga pintar. Tapi aku tak akan membiarkannya menyaingiku. Dan aku juga tahu kau lebih kasihan padanya!” gertak Elizabeth panjang lebar pada Edgar. Dia pun segera berlalu dari pandangan mereka. Edgar semakin memandangnya aneh.

“Mengapa dia menggertakku? Apa sih maunya? Aneh-aneh saja, membandingkan dirinya dengan Samantha apa maksudnya?” ucap Edgar sedikit bingung. Darwin tertawa kecil.

“Hahah, yeah. Dia sedikit aneh. Mungkin karena sifat wanita yang cerewet.”

“Dia bahkan lebih cerewet dari wanita normal!”


“Hay, Darwin!” sapa Elizabeth ketika berjalan dengan Samantha ke bawah.

“Hay!” balas Darwin.

“Hay Samantha!” Edgar menyapa Samantha.

“Tak ada ‘HAY’ untukmu!” ucap Elizabeth pada Edgar. Dia sedikit mendelik pada Edgar dan menarik tangan Samantha keluar.

“Lihat dia! Betapa sensitifnya. Aku suka menjaili gadis sensitif seperti dia. Hhahah, akan kujadikan mangsa.” ucap Edgar sambil tertawa. “aku baru tahu ada orang se-aneh dia – Elizabeth -.” lanjutnya lagi.

“Baiklah, cepat. Hari Rabu ini jadwal kita penuh. Sekarang kita akan belajar Pengendalian Tenaga Dalam dan langsung menuju Ramuan. Setelah itu Ramalan.” ucap Darwin sambil membereskan buku yang akan dia bawa.

“Sekarang tak ada istirahatnya, ya? Ahh…” keluh Edgar. “Berapa lama kita belajar?”

“Dua jam. Dan kita akan kembali ke hotel pukul 14.00. Setelahnya berkeliling Grondey terlebih dahulu. Kita kan baru di sini. Kita harus lebih mengetahui tentang sekolah baru kita ini.” ucap Darwin.

“Ahh… pasti sampai sore. Setelah itu kita akan pergi ke Aula untuk perkenalan dengan murid lain? Huhh… kenapa harus sekarang sih? Harusnya awal-awal kita datang di sini.” keluh Edgar lagi.

“Kata Elizabeth sih kepala sekolahnya belum datang kemarin. Jadi hari ini.”


“Ramuan Cooldinact untuk menghangatkan orang. Ramuan ini dari tanaman Fluste.” ucap Cole dengan sok.

“Uhh! Aku juga tahu itu! Kalau saja aku yang ditunjuk, aku pasti bisa.” ucap Elizabeth sinis.

“Sudahlah Mrs. Benson, dia itu bernama Cole Hilton. Kelas A. Agreniaclass. Kelas atas. Dia anak pejabat. Kelas A memang pintar semua, kau jangan iri begitu!” ucap Edgar menahan tawa.

Elizabeth mendelik lagi pada Edgar. Edgar memang sangat senang membuatnya kesal.

“Baiklah, jam pelajaran selesai. Kalian boleh bubar!” ucap Profesor. Colin dengan kumis tebalnya yang terpampang di bawah hidungnya.

Semua anak pun berhambur keluar. Elizabeth yang tadi kesal kepada Cole Hilton langsung menghampirinya.

“Kau harus berbicara denganku Hilton!” ucap Elizabeth.

Cole hanya memasang tatapan keji padanya dari bola mata coklatnya.

“Ada apa Mrs. Benson? Iri dengan kepandaianku? Aku baru melihat gadis yang berani pada seorang pria. Apalagi gadis kelas rendah sepertimu! Kelas D. Hampir rendah. Hanya satu tingkat dari yang paling rendah!” ledek Cole.

Wajah Elizabeth merah padam. Dia sudah menggenggam erat-erat bajunya.

“Sudah Elizabeth! Kau tak perlu seperti itu!” ucap Edgar menggenggam tangan Elizabeth.

“Tidak Edgar! Dia harus dapat pelajaran!” bantah Elizabeth.

“Kau mau apa Edgar? Mau ikut campur urusan kami? Hah? Aku dengar kau sering dimarahi orangtua dan Kakakmu. Hhaha, sudah miskin, nakal, bodoh… ARGHHH!” Cole terhenti dan terhuyung.

Ketika dia akan menyelesaikan kata itu dia dipukuli Edgar. Wajah Edgar sama-sama merah padam. Darwin mencegah Edgar untuk memukul Cole lagi.

“Sudah Edgar. Tak ada manfaat memukulnya!”

“Diam Darwin!”

“Oh, jadi pria berambut hitam, bermata biru dan berkulit bayi ini bernama Darwin. Mereka – Edgar dan Elizabeth – sahabatmu, ya? Pantas saja! Miskin dan rendah itu cocok!” ucap Cole keji sambil berlalu dari hadapan mereka.

Darwin terus menggenggam tangan Edgar. Sementara Elizabeth mencibir. Edgar melepaskan tangannya sekeras mungkin.

“Ini semua gara-gara kau!” tuduh Edgar pada Elizabeth.

“Aku? Mengapa kau harus ikut campur? Jadi menyalahkan aku!” Elizabeth menatap sinis Edgar.

“Ya! Aku kasihan padamu! Jika terjadi sesuatu padamu bagaimana?”

“Oh, jadi sekarang kau mulai peduli padaku?!”

Mendengar Edgar dan Elizabeth berdebat membuat telinga Darwin memanas. Semuanya sungguh membuatnya geli.

“HEYYYY!” teriak Darwin keras.

Elizabeth dan Edgar mendongak seraya berkata “APA?!” dalam waktu yang sama. Darwin tersentak. Apa yang harus dia lakukan?

“Kita kita.. Um,” dia melotot ketika mengingat sesuatu. “kita ketinggalan pelajaran Ramalan!”

“Tidak! Murid sepertiku tak boleh terlambat!” ucap Elizabeth.

Mereka bertiga segera berlari menuju ruang Ramalan. Tepat di ujung koridor bawah. Mereka harus menuruni tangga terlebih dahulu untuk sampai di sana.

“Mengapa aku harus terlambat? Baru kali ini.” keluh Elizabeth.

Dia memang tak pernah terlambat waktu sekolah. Mungkin baru kali ini.

Mereka terus berlari. Dari kejauhan terdengar suara seseorang.

“Sekarang Darwin William, Edgar Ferdinand dan Elizabeth Benson terlambat. Dan mereka akan datang… sekarang!”

Tepat di ujung sekarang mereka pun datang. Mereka tampak kelelahan dan nafasnya terengah-engah. Elizabet memegangi ujung meja dan Edgar mengusap wajahnya. Sementara Darwin memegang sebelah perut dan sedikit membungkuk. Mereka tak melihat senyuman dari Profesor yang ada di depan kelas.

“Maafkan kam Profesor. Kami terlambat, Anda tak akan memotong poin kami, kan? Kami sungguh minta maaf.” ucap Elizabeth dengan nafas tersendat-sendat.

Pria tua yang berdiri di depan kelas hanya tersenyum sambil menggeleng pelan.

“Sudahlah jangan dipikirkan. Kalian boleh duduk.” ucapnya ramah.

Mereka segera duduk. Ketika Darwin duduk di sana dan menatap ke depan, dia sedikit kaget.

“Tn. Robert?” tanya Darwin. Robert hanya tersenyum.

“Baiklah. Seperti yang telah teman kita katakan, kalian bisa memanggilku Robert. Jika ingin tahu, namaku Vicktor Robert. Sekarang mari mulai pelajaran pertama kita.” ucap Profesor. Robert. Darwin sedikit kagum padanya. Dia telah bilang pada Darwin bahwa mereka akan bertemu di hari Rabu. Dan sekarang Rabu. Dia benar-benar pandai dalam hal meramal.


“Profesor. Robert berkata padaku bahwa aku akan bertemu dengannya pada hari Rabu. Dan dia benar.” ucap Darwin.

“Mungkin dia tahu kalau pelajarannya akan dilaksankan hari Rabu.” ucap Elizabeth.

“Tapi aku tetap kagum padanya.” balas Darwin.

“Sudahlah, ayo kita simpan jubah besar ini. Saatnya berkeliling Grondey. Pasti kali ini seru.” kata Edgar. Samantha mengangguk. Terlihat Elizabeth mencibir.

“Kau lihat, ada dua orang gadis cantik yang menyukaiku.” bisik Edgar pelan di telinga Darwin. Sementara Darwin hanya tersenyum kecil saja. Memang Edgar lebih menarik daripada dia. Tapi Darwin memiliki wajah yang lebih imut dari Edgar.

“Baiklah, kami ke atas dulu ya Darwin. Mau nyimpan jubah sama buku. Sampai nanti di Aula depan.” ucap Elizabeth sambil melambai pada Darwin. Darwin tersenyum simpul. Edgar menyenggolnya.

“Menurutmu, mengapa Elizabeth selalu marah ketika denganku, ya? Dia sungguh aneh sekali.” Edgar kembali bercerita tentang dua gadis yang entah disukainya dan entah menyukainya. Tapi sepertinya yang disukainya.

“Entahlah,” jawab Darwin datar.

“Tapi dia selalu berbuat baik padamu.” Edgar melanjutkan.

“Yeah, kelihatannya begitu.” Darwin membalas.

Edgar sedikit terdiam. Darwin masih membereskan buku-buku yang sedang diberesinya. Edgar menatap Darwin lekat-lekat. Terutama pada bagian matanya. Entah ada hal apa yang membuatnya tertarik untuk menatap Darwin. Darwin jadi merasa tak enak.

“Kau kenapa, Edgar?” tanya Darwin canggung. Edgar tampak serius sekali mengamati Darwin.

“Matamu sangat mirip dengannya. Juga rambutnya.”

Nya? Nya siapa? Siapa yang dimaksud Edgar?

“Apa maksudmu? Aku tak mengerti.”

“Prof. William. Dia sangat mirip denganmu. Apa jangan-jangan….”

“Hey ayo!”

Samantha tiba-tiba datang dang memutuskan pembicaraan mereka. Darwin sedikit kaget. Begitu pun Edgar.

“Aku mengagetkan kalian, ya?” tanya Samantha.

“Tidak, ayo berangkat.”

Edgar pun berjalan keluar dengan Samantha. Namun Darwin masih membereskan bukunya.

“Di mana Edgar?” Elizabeth tiba-tiba muncul dari belakangnya. Darwin langsung mendongak.

“Eh, kau Elizabeth. Dia sudah berangkat bersama Samantha.” ucap Darwin datar.

“Ya, ya, ya. Dia lebih suka pada Samantha. Kau mau kan bersamaku sekarang? Aku tak punya teman.” ajak Elizabeth. Darwin pun menggertakkan ujung bukunya pada meja agar rapi. Dia lalu menyimpannya di atas sana. Segera dia berjalan menuju Aula Depan dengan Elizabeth.

“Kau bilang kemarin Kepala Sekolah kita sakit. Jadi pertemuan dan perkenalan murid barunya sekarang?”

“Ya, dia katanya sakit keras. Aku turut kasihan padanya. Jika dia meninggal. Jika dia meninggal, tak ada yang akan memegang sekolah ini. Karena kabarnya, sekolah ini diwariskan secara turun temurun. Dan kepala sekolah sekarang kita sedang sakit keras. Dia juga tak memiliki anak. Kudengar anaknya telah lama meninggal. Jadi terpaksa, harus ada seseorang dari staf maupun guru yang akan jadi pemimpin di sekolah ini. Walaupun rasanya dia keberatan.” ucap Elizabeth panjang lebar. Darwin terdiam. Dia masih terus berjalan menuju Aula Depan. Pandangannya dia tundukan. Rasanya dia tak mau berangkat ke luar Grondey untuk berkeliling. Dia ingin tetap di dalam sekolah. Tapi bagaimanapun juga, dia harus tahu tempat-tempat di sekitar sekolah barunya. Kalau saja ada tempat berbahaya.

Dia segera merapat dan berbaris dengan anak-anak lain yang satu hotel dengannya. Termasuk Edgar, Elizabeth dan Samantha. Dia berbaris paling belakang. Tepatnya di belakang Elizabeth. Dia merasa sangat ragu untuk melangkah keluar.

“Baiklah anak-anak, kalian jangan berpisah satu sama lain. Kalian bisa saja tersesat. Jadi diharapkan untuk tenang dan hati-hati.” kata salah seorang pria jangkung berkacamata. Dia sepertinya senior di sekolah ini.

“Baiklah, kita berangkat setelah hotel C nanti. Sekarang hotel A terlebih dahulu.” ucapnya lagi.

Murid hotel D kelas satu yang kira-kira ada sekitar 23 orang masih berdiri dan berbaris di sana. Mereka tampak sedang menunggu bagian mereka untuk berkeliling. Sampai akhirnya, mereka siap untuk berangkat.

“Baiklah, sekarang kita berangkat.” sahut pemuda rambut hitam itu.

Mereka segera keluar dan berkeliling di sekitar sekolah. Tepat di sebelah kanan bangunan tersebut, ada sebuah bangunan lagi. Itu adalah RS Grondey. Jika ada yang sakit, mereka tak perlu pulang untuk berobat. Lalu sebelah selatan ada taman dan kebun. Di sana adalah tempat untuk praktek pelajaran biologi. Karena tumbuhan dan hewan Grondey selalu ada di sana. Dan di belakang sekolah – utara – berdiri sebuah lapangan yang cukup luas. Di sana bisa dipakai untuk berolahraga. Dan satu-satunya olahraga yang ada di sana adalah bersapu terbang. Dan di sebelah timur asrama ada sebuah hutan. Hutan Scarymus. Hutan paling menakutkan. Juga hutan tempat di mana hewan-hewan buas dan tanaman liar berada. Konon katanya, di sana jika seseorang masuk ke sana tak akan bisa pulang kembali.

“Jadi kalian tak boleh pergi ke sana. Sudah banyak orang tersesat dan mati kelaparan. Atau mati di makan hewan dan tumbuhan buas. Mereka bisa saja diam, tanpa kita ketahui mereka ada dan akan menyergap kita.” seru pria tinggi itu.

Darwin terus memandangi hutan tersebut. Walau siang bolong begini, tapi terlihat sangat gelap.

“Dan banyak yang mengatakan di sana juga ada seorang penyihir tua yang sangat jahat. Dia bisa mengendalikan seseorang dengan darah dan detak jantung di tubuh kita.” jelasnya lagi.

Darwin terdiam. Kepalanya terasa sangat pusing sekali. Kabut tebal tiba-tiba memburamkan pandangannya. Telinganya seakan tuli akan suara.

“Elizabeth! Edgar! Samantha!” teriaknya dengan menyipitkan sedikit matanya. Dia tak bisa melihat dengan jelas. Dan matanya sangat sakit.

“Kita harus membunuhnya. Ini semua untuk mencegah ramalan itu benar. Untuk mengambil alih seluruhnya, kita harus membunuh keduanya. Jika kita berhasil, maka semuanya akan jatuh ke tangan kita!” ucap seorang pria bersuara dingin dan parau.

“Hahaha! Kau harus membayar dan membuatku muda dan selamanya.” kata seorang wanita dengan suara memekik tinggi.

“Itu bukan masalah besar. Aku bisa langsung membuatmu lebih cantik dari sebelumnya.” suara dingin parau itu kembali muncul.

“Baiklah, akan kusiapkan segala yang kau butuhkan. Asal kau menepati janjimu, aku bisa membuat ramuan itu…”

Darwin tak mengerti. Semakin lama, kabut itu semakin tipis dan hampir membuat matanya tak bisa melihat. Semakin lama semakin berubah gelap. Dia mencoba membuka matanya. Dilihatnya seorang pria tua sedang duduk di depannya.

Matanya sudah terbuka lebar. Dia sedikit menggosok-gosok matanya dan bangun untuk duduk. Pria dengan rambut putih itu menatap Darwin. Dia tersenyum simpul padanya. Matanya sangat mirip dengannya. Hanya saja hidung miliknya sedikit bengkok daripada Darwin.

“An-da sia-siapa?” tanya Darwin gemetaran. Terkadang dia memang sering gelagapan bila melihat orang yang tidak dikenalinya.

“Aku Albert William, kau tak kenal kakekmu?” ucapnya dengan suara serak dan mencoba dilembut-lembutkan.

“Profesor. William?” tanyanya kaget.

“Ya, anakku. Kau tak usah memanggilku Profesor, panggil saja aku Kakek.” ucapnya.

Rasanya Darwin sedikit canggung bila menyebutnya dengan panggilan ‘Kakek’.

“Kau tak sakit, Nak?”

“Tidak, Profesor.” balasnya singkat.

“Baguslah kalau begitu. Aku harus pergi ke ruanganku. Banyak tugas yang belum kuselesaikan.” ucapnya sambil berlalu.

Ketika Albert William membuka pintu, Edgar dan dua teman baiknya sudah ada di depan pintu. Mereka memberi salam pada Kepala Sekolah mereka lalu segera berlari menuju Darwin.

“Hey, Darwin. Kau baik-baik saja?”

Seperti biasa, Elizabeth yang paling dulu menyapanya. Darwin tersenyum sambil sedikit membenarkan rambutnya.

“Aku baik-baik saja.”

“Lalu tadi mengapa kau pingsan?” tanya Edgar. Pingsan? Benarkah dia pingsan?

“Aku pingsan?”

“Yeah, kau tadi pingsan ketika mengelili sekolah. Tepatnya ketika di dekat hutan. Kau melihat sesuatu?” tanya Samantha sedikit ngeri. Darwin hanya diam. Dia tak pingsan, dia sadar. Ada orang yang berbicara ketika tadi.

“Tapi…”

Belum Darwin menyelesaikan ucapannya, Edgar sudah menyela.

“Oh, ya Darwin. Kau tahu kan? Kau adalah cucu dari Albert William. Apa benar Ayahmu bernama Daniel William?”

“Yeah,” balas Darwin datar.

“Waw! Ayahmu adalah salah satu penyihir terhebat di dunia. Tapi sayang, dia telah meninggal.” ucap Elizabeth sedikit murung.

“Begitukah? Yeah, Ayahku meninggal dalam usia yang sangat muda.” ucap Darwin murung juga.

“Oh, ya! Ada berita bagus lagi untukmu! Semua orang dan murid di Grodey sudah mengetahui siapa kau. Wah, kau pasti tenar.” puji Edgar pada Darwin. Darwin sedikit memamerkan giginya yang rapi. Elizabeth dan Samantha ikut tersenyum juga. Mereka pun segera keluar dari Rumah Sakit tersebut. Darwin memang sudah tak sakit.

“Kau akan keluar Darwin?” tanya seorang perawat ramah padanya.

“Yeah, aku tak apa-apa.” ucapnya.

Keempatnya langsung keluar. Darwin belum segan untuk menceritakan seluruh kejadian yang dia alami tadi. Jujur saja, dia tak mengerti. Dia juga merasa semuanya nyata. Apa karena kelebihan yang disebut Elizabeth itu, ya? Pikirnya.

“Elizabeth!” serunya. Elizabeth mendongak.

“Apa nama kelebihan yang kau maksud padaku waktu itu?”

“Oh itu, ya? Namanya kalau tak salah Sleepylife Body. Jadi kejadian di mana kita bisa merasakan sihir jahat atau ilmu hitam yang ada di dekat kita hanya dengan memejamkan mata. Tapi itu sulit. Tapi kita juga dapat merasakannya dengan melepas kesadaran pada tubuh. Atau hampir terasa seperti mimpi. Di mana tubuh kita tertidur, namun ruh kita sadar. Darisana kita bisa berkelana dan merasakan kejahatan.” jelas Elizabeth. Darwin akhirnya mengerti. Dia memang bisa merasakan sentuhan hitam. Dia bisa merasa ada sesuatu yang mengganggunya. Dia juga merasa ada rencana jahat yang akan seseorang lakukan. Walau begitu, dia tak ingin membicarakan hal itu terhadap temannya. Dia malah tak menyukainya.

Di tengah perjalanannya menuju hotel, banyak murid Grondey yang menyapanya. Dia hanya sekedar tersenyum atau membalas sapaan mereka dengan berkata, ‘Hello’, ‘Hay’. Mungkin itu juga cukup.

“Elizabeth, mengapa aku merasakannya sekarang? Tak sebelumnya.”

“Tentu saja, di rumahmu tak terjangkit sihir. Makanya, kau tak bisa merasakannya. Di sini kan penuh dengan sihir.” jelas Elizabeth lagi.

Waw! Dia memang pandai. Apakah Samantha lebih pandai darinya?

“Aku dengar cucu dari KepSek di sini seorang murid kelas rendahan. Drawsenclass.” Cole tiba-tiba datang dengan lagak angkuhnya.

“Yeah, kau benar. Hotel yang sederhana.” kata Darwin tenang.

Kedua teman Cole, Thom dan Jerry – sebenarnya mereka kembar. Nama lengkap mereka Jerry Thomas dan Jack Thomas. Jadi panggilan mereka Thom dan Jerry – sedikit terkekeh. Kedua anak kembar idiot ini sama dan hampir mirip dengan tokoh asli Tom dan Jerry. Terkadang mereka sering berbeda pendapat, terkadang mereka tak bisa akur, tapi mereka juga takut pada Cole. Entah kenapa.

“Hey Cole! Aku dengar kau berteman dengan Tom dan Jerry. Jika mereka kucing dan tikus, kau apanya? Anjingnya? Hhaha!” tawa Edgar meledak. Wajah pucat Cole mulai merona. Dia malu sekaligus marah diledek di depan banyak orang.

“Itu tidak lucu!” ucapnya sinis. Dia mendelik dan langsung mengajak Thom dan Jerry pergi. Edgar masih sedikit terkekeh dan menahan tawa melihat wajah putih Cole mendadak murka. Dia memang bisa dibilang cukup tampan dengan mata coklat dan rambut coklat kemerah-merahannya. Dia juga pandai. Hanya saja dia angkuh.

“Cole adalah anak pejabat. Rata-rata mereka angkuh.” ucap Edgar.

“Aku juga anak seorang guru. Kedua orangtuaku guru. Tapi aku tak angkuh.” ucap Elizabeth berlagak benar.

“Lihat dia, dia bilang dia tak angkuh? Dia memang selalu merasa paling benar.” ledek Edgar dengan berbisik ke arah Darwin. Elizabeth sedikit curiga dengan gerak-gerik Edgar. Dia yakin, Edgar pasti sedang menggunjingnya.

Cerpen Karangan: Selmi Fiqhi

Blog: https://selmifiqhi.blogspot.com/

Facebook: https://www.facebook.com/selmifiqhikhoiriah

Twitter: @SelmiFiqhi

Ini merupakan cerita pendek karangan Selmi Fiqhi, kamu dapat mengunjungi halaman khusus penulisnya di: Selmi Fiqhi untuk membaca cerpen cerpen terbaru buatan penulis yang telah di terbitkan di cerpenmu, jangan lupa juga untuk menandai Penulis cerpen Favoritmu di Cerpenmu.com!

Cerpen ini lolos moderasi pada: 21 September, 2013