Naples, Italia. Tempat paling pas untuk ngopi sepulang kerja. Ditambah pemandangan kota yang perlahan menelan senja tepat di depan mata. Keindahan yang tak dapat diucapkan dengan kata-kata.

Setelah pulang dari kantorku, aku terbiasa mampir ke kedai kopi kecil di pinggir pantai ditemani 2 gelas coklat panas dan, terkadang, seekor camar manja yang meronta menginginkanku berbagi biskuit lezat seharga 7 Euro (bayangkan dalam Rupiah, mahalnya bukan main!). Yang dapat kulihat bukan hanya panorama Laut Tiberia berbatas cakrawala ungu tua, tapi juga panorama kedamaian yang hanya bisa dideskripsikan oleh mata jiwa.

Sore ini lebih dingin daripada biasanya. Musim dingin sebentar lagi tiba dan kedai kopi akan sangat padat beberapa bulan ke depan. Ketika aku masuk ke kedai kopi yang sama dengan kedai kopi yang sudah aku kunjungi seminggu terakhir ini, aku hanya melihat dua kursi kosong: satu berada di meja kayu panjang yang memang biasa ada di kedai-kedai kopi dan yang satu sudah ditempati seseorang yang, ehm, secara harfiah membutuhkan jatah 2 kursi orang normal (baca: gemuk). Tentu aku memilih kursi di meja kayu panjang. Aku tidak ingin menyakiti hati wanita gemuk tadi karena harus memintanya berbagi jatah kursi dan tidak ingin menyakiti badanku karena harus memaksa duduk di sana.

Seperti biasa, aku memesan dua cangkir coklat panas. Saat kulilitkan ke leherku dengan selembar halsduk biru tua pemberian istriku nun jauh di Indonesia sana, aku mendengar dua orang pria yang duduk di sebelahku memesan kopi hitam panas: lima cangkir! Tapi ada yang janggal pada saat mereka memesan kepada pelayan.

“Lima cangkir kopi, dua untuk kami, dan tiga lagi pending.”

Si pelayan yang berumur 50 tahunan itu—dengan kesigapan mendekati seorang tentara—langsung membuat dua cangkir kopi hitam panas dan menyodorkannya dengan ramah kepada dua orang tadi.

Kopi pending? Sudah 5 tahun aku merantau, bekerja keliling seluruh Eropa, bahkan dunia, mampir ke kedai kopi di hampir seluruh penjuru benua, tapi belum pernah aku mendengar kata ‘kopi pending’. Terdorong rasa penasaran yang kuat, aku bertanya kepada pria yang memakai jas coklat muda.

“Maksudnya kopi pending?”

“Lihat saja nanti.” alih-alih si pria berjas coklat muda tadi merespon pertanyaanku, pria berjas hitam di sebelahnya yang menjawab. Si jas coklat hanya menyenggolkan sebuah senyuman yang sedikit terlalu lebar. Lalu, dua pria itu lalu menyeruput kopi dengan nada yang sinkron, terlalu sinkron bagiku bahkan.

Setengah jam berlalu, kedua cangkir coklatku sudah habis. Aku hanya menunggu ‘lihat saja nanti’ yang dijanjikan oleh pria tadi. Akhirnya, dua pria itu berdiri, membayar kelima kopi yang dipesannya; termasuk tiga kopi yang masih dia pending.

Lalu, keluar dari kedai.

Terdorong kembali oleh rasa penasaran yang semakin tinggi, aku menahan bahu si jas hitam dan kembali bertanya. “Jadi kopi pending itu?”

“Lihat saja nanti.” sekarang pria berjas coklat muda yang membalas pertanyaanku. Si pria berjas hitam hanya mengibaskan senyuman.

Satu setengah jam sudah kuhabiskan untuk menunggu kopi pending itu. Karena bosan, akhirnya aku keluar dari kedai itu menuju rumah dinasku beberapa ratus meter dari kedai ini.

Keesokan harinya, hampir tepat 24 jam setelah dua pria kemarin membeli tiga cangkir kopi pending, aku kembali menunggu apa yang akan terjadi dengan kopi itu. Sekarang, aku duduk di sebelah dua gadis yang sepertinya baru pulang dari kuliah: yang satu memiliki muka yang manis, sedangkan temannya, well, tidak terlalu. Mereka memesan dua cangkir cappuccino panas. Tak kudengar kata ‘pending’ dari bibir mereka. Hari ini tak lagi kudengar kata ‘pending’ dari mulut semua orang yang memesan minuman di sini.

Tapi rasa penasaran menyebalkan ini masih menyelimuti pikiranku.

Setengah jam kusediakan untuk menunggu kopi pending kemarin. Tapi tidak ada juga tanda-tanda yang berhubungan dengan kopi pending tersebut.

Esoknya, esoknya, dan esoknya lagi, aku ulang rutinitas temporal ini: menunggu setengah jam setelah dua cangkir coklat panasku habis hanya untuk melihat apa yang terjadi dengan kopi pending itu. Jika ada orang yang duduk di sebelahku, tanpa tahu malu, langsung kutanya dengan pertanyaan yang sama dengan yang kutanyakan kepada si pria-kopi-pending- beberapa hari lalu.

Setiap orang yang kutanya menjawab dengan kata-kata yang sama persis dengan si pria-kopi-pending: seorang pengacara amatir yang baru menyelesaikan satu kasus, seorang pria yang baru diusir dari rumah karena dituduh selingkuh oleh istrinya, bahkan pemilik kedai kopi sebelah yang ingin mencicipi dan menyakinkan pegawainya bahwa kopi kedai mereka lebih nikmat dari kedai ini.

“Lihat saja nanti.” ucap setiap orang.

Lima hari sudah kulewati menunggu nasib kopi pending. Ini hari keenam dan kuputuskan untuk menjadi hari terakhirku menanti si kopi pending ini.

Ah! Kenapa tidak kutanyakan saja kepada pelayan di sini?

Bergegas aku bertanya kepada pelayan berseragam biru muda dan bercelemek putih yang sedikit kumal jika dilihat dari dekat. “Maksudnya kopi pending itu apa?”

Dengan sedikit senggolan senyum jahil di bibirnya, wanita itu membalas pertanyaanku. “Lihat saja nanti.”

Aku mulai curiga bahwa sebenarnya mereka menjahiliku karena mukaku memang, tak bisa dipungkiri, bukan muka asli daerah ini. Jadi, siapapun akan tahu bahwa aku memang bukan orang Italia. Mungkin ada tradisi di seluruh kedai di kota ini untuk menjahili setiap orang yang terlihat asing atau… entah aku tidak mengerti.

Setelah kembali menunggu setengah jam yang membosankan dan tetap tidak ada tanda-tanda dari kopi pending itu, rasa kesalku sekarang yang mengepul di kepala. Namun, rasa penasaranku kembali datang ketika seorang tua di sebelah kananku memesan 2 cangkir kopi pending (akhirnya). Kembali, tanpa tahu malu, aku kembali bertanya.

“Sebenarnya, apa sih kopi pending itu?”

Sudah kuduga, reaksi yang diberikan oleh orang itu sama saja.

“Lihat saja nanti.”

Sepertinya asumsiku memang benar. Semua orang di sini menjahiliku. Tujuh orang, bung! Tujuh orang menjawab ‘lihat saja nanti’! Kuminum coklat panasku cepat-cepat dan cepat-cepat pula aku taruh uangku di atas meja (sedikit kugebrak mejanya karena aku kesal). Tepat saat aku membalikkan badan ingin pulang ke rumah dinasku, seorang tua berbadan lusuh, berbau sampah plus daging busuk, berbaju compang-camping, berdiri di sampingku. Seluruh tubuhnya gemetar seperti dapat rubuh kapan saja.

“Adakah secangkir kopi pending di kedai ini?” seorang pengemis menghampiri si pelayan.

Pelayan tadi lalu membuat secangkir kopi hitam panas dan memberikannya kepada pengemis yang baru saja masuk. Dia meminum habis kopi panas yang uapnya masih terlihat jelas itu. Sedikit menyeramkan membayangkan kuatnya lidah dan kerongkongan orang itu.

“Terjawab?” si pelayan menyondongkan badannya sambil memangku tangan di atas meja. Senyuman jahil kembali terlukis di muka bulatnya. Ada kepuasan tersendiri yang tersirat di gestur wajahnya.

“Selamat datang di Naples, Nak. Kota para dermawan.” Orang tua di sebelahku tadi menggeleng-gelengkan kepalanya sembari menepuk pundakku yang sudah berbalik menghadap pintu.

Hening berkelibat dan membanjur seluruh tubuhku. Aku tidak berpikir bahwa kemuliaan bisa datang dari secangkir kopi hitam panas. Aku tidak mengira bahwa kebahagiaan bisa dibagikan di kedai-kedai kecil di pinggiran pantai. Aku tidak berpikir bahwa ‘lihat saja nanti’ yang mereka janjikan akan terjawab seperti ini, bahkan membumbung tinggi di atas ekspektasiku (ekspektasiku, orang-orang yang memesan kopi pending akan datang kembali dan mengambilnya di lain hari). Dengan refleks, kubalikkan kembali badanku, dan berdiri dengan tampang serius-agak-kaget dan mata tajam sedikit melotot seperti seorang pemburu yang baru melihat seekor rusa whitetail besar lewat di depan matanya.

“Aku pesan 10 cangkir kopi pending.”

Cerpen Karangan: Finlan Adhitya Aldan

Blog: finlanadhitya.blogspot.com

Ini merupakan cerita pendek karangan Finlan Adhitya Aldan, kamu dapat mengunjungi halaman khusus penulisnya di: Finlan Adhitya Aldan untuk membaca cerpen cerpen terbaru buatan penulis yang telah di terbitkan di cerpenmu, jangan lupa juga untuk menandai Penulis cerpen Favoritmu di Cerpenmu.com!

Cerpen ini lolos moderasi pada: 3 September, 2013

2 komentar:

Pending ? Lihat saja nanti

sempat penasaran juga,,hehe tapi untung akhirnya ada jawaban juga :D

Posting Komentar